Merah Putih: One for All digarap oleh filmmaker yang tidak tahu caranya membuat film untuk anak muda masa kini. (Dok. GGWP)
Perfiki Kreasindo merupakan perusahaan turunan dari Persatuan Film Keliling Indonesia yang berdiri tahun 1976. Perfiki sendiri, pada masanya mengurusi keberlangsungan industri film keliling, atau dalam bahasa lain adalah layar tancap.
Dulu, layar tancap digunakan sebagai media komunikasi oleh pemerintah. Namun seiring berkembangnya zaman, layar tancap digunakan untuk menayangkan film bajakan hingga pornografi. Perfiki hadir untuk mengayomi dan mendorong industri layar tancap dari stigma buruk itu.
Namun di era sekarang, layar tancap sudah tidak relevan. Semua orang bisa memiliki proyektor dan menayangkan film/acara apapun. Menonton film kini bisa dimana saja berkat internet, tidak perlu ke bioskop dan layar tancap.
Rasanya, eksistensi Perfiki saat ini menggambarkan betul inti dari film Merah Putih: One for All. Ide yang mereka bawa adalah relik masa lalu, bukti bahwa orang-orang di balik film ini tidak bisa menjaga relevansinya di tengah perubahan era.
Namun, karena mereka masih memiliki kuasa dalam industri perfilman, film seperti ini masih dimungkinkan untuk eksis di pasaran. Padahal, demand untuknya sangat sedikit. Total 720 orang dari 16 studio dan kurang dari 8 kali penayangan tidak akan menghasilkan profit signifikan.
Kualitas produksi asal-asalan dan attitude tidak peduli dari para pembuatnya menghasilkan film yang ofensif bagi penontonnya. Bahkan pecinta film cult saja akan mempertanyakan apakah harga tiketnya worth it.
Merah Putih: One of All menjadi pelajaran untuk mencintai karya kita selayaknya dan memberikan dedikasi yang pantas, karena jika film dibuat sebagai vanity project saja, maka penonton tidak akan tertawa bersama film, namun akan menertawakan pembuatnya.
Saat ini, film ini masih diminati beberapa orang yang penasaran. Namun berani taruhan dalam 1 minggu kemudian, orang-orang akan melupakan film ini dan fokus pada drama internet terbaru yang lebih pedas.
Meski sudah terpatri dalam benak beberapa netizen, film ini tidak akan bisa menciptaklan dampak semendalam Battle of Surabaya, Jumbo, atau bahkan Keluarga Pak Somat.
Animasi Indonesia saat ini sudah bukan dalam fase "surviving", namun sudah di level "bangkit" dengan megah. Merah Putih: One for All hanya akan menjadi bercak kecil dalam pergerakan renaisans animasi Indonesia.
Apakah kamu sempat menonton Merah Putih: One for All? Bagaimana tanggapan kamu untuk film ini?