Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel GGWP lainnya di IDN App
Merah Putih: One for All tayang di bioskop dengan membawa kontroversi. (Dok. GGWP)
Merah Putih: One for All tayang di bioskop dengan membawa kontroversi. (Dok. GGWP)

Intinya sih...

  • Film Merah Putih: One for All tayang di bioskop Indonesia dengan kontroversi, hanya menarik 720 penonton di hari pertama.

  • Film ini memiliki berbagai kekurangan, seperti plot yang lambat, dialog garing, dan sinematografi buruk.

  • Dialog film ini tidak bisa relate dengan kondisi anak-anak Indonesia saat ini.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Film Merah Putih: One for All telah tayang di bioskop Indonesia dengan iringan kontroversi. Berbagai suara sumbang tidak menghalangi film animasi ini untuk tayang di bioskop lokal.

Di hari pertama, 720 orang datang menyaksikan film tersebut, yang ditayangkan di 16 bioskop di berbagai daerah. Okupansi setiap jadwal tayangnya mungkin tidak lebih dari 10 orang.

Berbagai rumor tersebar seputar film ini, mulai dari budget-nya yang miliaran rupiah, sumber dana dari hasil korupsi, aset stock belum dibayar, dan masih banyak lagi. Gerakan boikot berlangsung di media sosial.

Terlepas rumor dan kontroversi yang mengikutinya, Merah Putih: One for All menjadi bukti bahwa sering kali mereka yang memiliki kuasa untuk menciptakan karya, khususnya dengan tema nasionalisme, tidak mau memahami untuk siapa karya mereka dibuat.

1. Pengalaman menonton Merah Putih: One for All

Suasana bioskop sebelum pemutaran film. Mungkin tidak terisi sampai seperempatnya. (Dok. GGWP)

Sepulang kerja, saya menyempatkan diri untuk datang ke XXI Puri Indah untuk menyaksikan Merah Putih: One for All. Lokasinya memang jauh, tapi apa boleh buat, karena di Jakarta hanya 3 XXI saja yang menayangkan film ini. Bioskop lain seperti Cinepolis membatalkan penayangannya.

Masih ada waktu 30 menit sampai film dimulai, yang saya habiskan untuk main satu game ranked HOK (kalah sih). Saat bermain, ada kumpulan anak sekolah yang berfoto dengan poster film Merah Putih, sembari menertawakannya.

Pikir saya, jika target pasar film ini, yaitu anak-anak dan murid sekolah, menertawakan film ini, artinya memang ada yang salah saat mereka merencanakan dan memproduksi film ini.

Saya kemudian masuk ke dalam studio. Mungkin isinya kurang dari 10 orang: ada anak-anak sekolah tadi, seorang bapak-bapak, dan dua orang seumuran saya. Kami menonton trailer Demon Slayer: Infinity Castle dan pesan video dari Timo Tjahjanto seputar film debut Hollywood-nya, Nobody 2. kedua video itu seakan berkata, "Seharusnya kalian menonton film kami daripada menghabiskan waktu dan uang menonton film ini."

Tapi nasi sudah jadi bubur, kami semua di dalam studio dengan kesadaran penuh datang menonton Merah Putih: One for All. Entah karena FOMO, gabut, atau tidak sayang diri sendiri.

Film pun dimulai, dengan logo production house FilmAnimasi.com dan Perfiki Kreasindo yang beresolusi rendah. Lebih rendah dari filmnya sendiri. Demi Tuhan, ini adalah satu setengah jam pengalaman yang sulit dijelaskan.

2. Buruk dari segala aspek

Ada istilah yang berbunyi "what you see is what you get": apa yang kamu lihat, apa yang kamu dapatkan. Hal yang sama berlaku untuk film Merah Putih: One for All. Apa yang muncul di trailer, semua akan didapatkan di dalam film.

Film berjalan lambat dan bertele-tele. Seluruh plot film sebenarnya sudah terceritakan di dalam trailer. Penonton di bioskop akan mendapatkan beberapa adegan inbetween yang menghubungkan beberapa adegan di trailer, sekaligus pengungkapan plot lebih lanjut buat yang penasaran.

Banyak sekali adegan nggak penting di film ini. Sebagian besar isinya guyonan yang kelihatan ditulis oleh bapak-bapak yang berusaha keras untuk gaul. Beberapa adegan merupakan pengulangan adegan yang sudah ada.

Setidaknya 3 kali karakter utamanya berdecak kagum karena melihat pemandangan indah di hutan. Selain itu, ada belasan adegan stock footage dimana penjaga gudang di desa merekam perjalanan Tim Merdeka secara diam-diam. Alasannya akan dijelaskan di poin lain.

Sinematografinya miskin berkat pengambilan angle yang kaku dan statik. Dialog antar karakter berisi close up karakter yang sedang berbicara, menimbulkan kesan canggung bagi yang menonton.

Mixing suaranya tidak hanya buruk, namun juga membuat sakit penontonnya. Suara musik terlalu keras dan menutupi dialog karakter. Sound effect juga tak kalah kerasnya, sehingga membuat penonton kaget saat terdengar tiba-tiba.

Awalnya saya ingin sedikit apresiatif untuk effort sang animator, Bintang Takari yang konon jadi one man army untuk film ini dan hanya dibayar dengan nasi goreng. Namun niatan itu sirna setelah mendengar musik dan dialog karakter yang dibuat dengan AI.

3. SPOILER ALERT: Plot cerita tak membangkitkan rasa nasionalisme

Alur cerita terasa nonsense sebagaimana pesan yang ingin disampaikan. (facebook.com/ikarifseiei)

Seperti disebutkan di atas, dialog film ini ditulis oleh bapak-bapak yang out of touch alias tidak bisa relate dengan kondisi anak-anak Indonesia saat ini. Dialognya garing, dan terlalu mendengungkan rasa nasionalisme yang semu.

Sebagai pengingat, film ini menceritakan tentang sekelompok anak-anak dalam Tim Merdeka yang harus mencari bendera Indonesia yang hilang dari gudang penyimpanan. Bendera itu akan digunakan untuk upacara bendera tanggal 17 Agustus.

Mengandalkan satu-satunya petunjuk yaitu soal penjaga gudang yang suka pergi ke hutan, mereka berangkat untuk mencari bendera ke hutan. Namun, perjalanan mereka sering kali diselingi jeda tidak perlu seperti pertengkaran, buang air di sungai, hingga bermain dengan monyet.

Di tengah perjalanan, mereka melepaskan burung yang ditangkap oleh anak-anak berandal yang ingin menjualnya kepada seorang bule. Tim Merdeka berkali-kali menjahili mereka, termasuk menyuruh monyet melempari kelompok berandal itu dengan batu.

Seiring perjalanan, Tim Merdeka akhirnya sampai ke rumah pemuka adat untuk menanyakan soal bendera hilang. Alasan kenapa mereka bisa pergi ke rumah pemuka adat dulu tidak pernah dijelaskan.

Pemuka adat kemudian mengarahkan mereka ke tempat penyimpanan bendera cadangan di sebuah tempat yang kelihatan lebih mirip reruntuhan kuil di zaman Mesopotamia. Anak-anak berandal sebelumnya tiba-tiba muncul dan menyandera bendera itu.

Mereka ingin Tim Merdeka menangkap burung yang mereka lepaskan, atau mereka harus ganti rugi Rp 100 juta. Tim Merdeka menjawab tuntutan itu dengan membuat seekor kambing menendang anak-anak berandal itu ke dalam lumpur hidup.

Bendera berhasil didapatkan. Namun pada upacara bendera, tali bendera tersangkut di tengah. Salah satu anak kemudian memanjat tiang bendera sampai puncak dan bendera pun berkibar.

Sebuah plot twist muncul dan menjelaskan kenapa cerita film ini bisa demikian. Ternyata, penjaga gudang yang merekam Tim Merdeka di dalam hutan itu benar-benar menyembunyikan bendera yang asli karena anaknya tidak terpilih ke dalam Tim Merdeka.

Saat fakta itu terungkap, kamera menyorot sosok yang diduga anak sang penjaga gudang, yang ternyata punya penampilan sama dengan anak berandal penangkap burung. Mind. Blown.

4. Film nggak niat, bukan pertama kali!

Mungkin kamu penasaran kenapa film nggak niat seperti Merah Putih: One for All bisa tayang di bioskop. Tapi, ini bukan pertama kalinya film dengan level effort serupa pernah tayang dalam sejarah perfilman dunia. Mari kenalan dengan The Amazing Bulk.

Film ini adalah parodi dari The Incredible Hulk, dengan konsep live action digabung dengan background dan efek 3DCG. Layaknya Merah Putih, The Amazing Bulk menggabungkan cerita dan sinematografi paling dasar dengan penggunaan 3DCG ekstensif.

Terdapat satu adegan dimana Bulk berlari menghindari serangan musuh, sementara di belakangnya terdapat banyak karakter CG mengejarnya: helikopter Apache, Robin Hood, pemburu Indian, kadal gurun, pesawat kamikaze, kapal bajak laut, Dewa Zeus, dan masih banyak lagi.

Level kegilaan seperti inilah yang menunjukkan seberapa tidak pedulinya sang pencipta film terhadap karya mereka. Inilah level yang sama yang ditunjukkan di dalam film Merah Putih: One for All.

Mengutip ujaran sutradara Hanung Bramantyo yang juga menyaksikan film Merah Putih: One for All, film tersebut masih sebatas pre-visualization. Alias belum jadi. Masih oret-oret. Kalau ibarat komik, bentuknya masih sketsa stickman.

Dan dengan kesadaran penuh serta ego tinggi, produsernya melepas film ini ke bioskop. Ia mencuri jatah satu studio yang seharusnya bisa diberikan kepada film Indonesia lain.

5. Saat relik masa lalu membuat film di era modern

Merah Putih: One for All digarap oleh filmmaker yang tidak tahu caranya membuat film untuk anak muda masa kini. (Dok. GGWP)

Perfiki Kreasindo merupakan perusahaan turunan dari Persatuan Film Keliling Indonesia yang berdiri tahun 1976. Perfiki sendiri, pada masanya mengurusi keberlangsungan industri film keliling, atau dalam bahasa lain adalah layar tancap.

Dulu, layar tancap digunakan sebagai media komunikasi oleh pemerintah. Namun seiring berkembangnya zaman, layar tancap digunakan untuk menayangkan film bajakan hingga pornografi. Perfiki hadir untuk mengayomi dan mendorong industri layar tancap dari stigma buruk itu.

Namun di era sekarang, layar tancap sudah tidak relevan. Semua orang bisa memiliki proyektor dan menayangkan film/acara apapun. Menonton film kini bisa dimana saja berkat internet, tidak perlu ke bioskop dan layar tancap.

Rasanya, eksistensi Perfiki saat ini menggambarkan betul inti dari film Merah Putih: One for All. Ide yang mereka bawa adalah relik masa lalu, bukti bahwa orang-orang di balik film ini tidak bisa menjaga relevansinya di tengah perubahan era.

Namun, karena mereka masih memiliki kuasa dalam industri perfilman, film seperti ini masih dimungkinkan untuk eksis di pasaran. Padahal, demand untuknya sangat sedikit. Total 720 orang dari 16 studio dan kurang dari 8 kali penayangan tidak akan menghasilkan profit signifikan.

Kualitas produksi asal-asalan dan attitude tidak peduli dari para pembuatnya menghasilkan film yang ofensif bagi penontonnya. Bahkan pecinta film cult saja akan mempertanyakan apakah harga tiketnya worth it.

Merah Putih: One of All menjadi pelajaran untuk mencintai karya kita selayaknya dan memberikan dedikasi yang pantas, karena jika film dibuat sebagai vanity project saja, maka penonton tidak akan tertawa bersama film, namun akan menertawakan pembuatnya.

Saat ini, film ini masih diminati beberapa orang yang penasaran. Namun berani taruhan dalam 1 minggu kemudian, orang-orang akan melupakan film ini dan fokus pada drama internet terbaru yang lebih pedas.

Meski sudah terpatri dalam benak beberapa netizen, film ini tidak akan bisa menciptaklan dampak semendalam Battle of Surabaya, Jumbo, atau bahkan Keluarga Pak Somat.

Animasi Indonesia saat ini sudah bukan dalam fase "surviving", namun sudah di level "bangkit" dengan megah. Merah Putih: One for All hanya akan menjadi bercak kecil dalam pergerakan renaisans animasi Indonesia.

Apakah kamu sempat menonton Merah Putih: One for All? Bagaimana tanggapan kamu untuk film ini?

Editorial Team