Review Pengepungan di Bukit Duri: Penonton Selalu Diberi Ketegangan!

- Pengepungan di Bukit Duri menghadirkan distopia yang dekat dengan kenyataan tahun 2027, menampilkan kekacauan struktural dan sosial yang meresap dalam masyarakat Indonesia.
- SMA Duri menjadi cermin kekacauan sosial dan kekerasan struktural di Indonesia, menggambarkan bagaimana generasi muda kehilangan arah akibat lingkungan yang keras.
- Film ini mengeksplorasi kekerasan manusiawi sebagai refleksi masyarakat, menolak untuk menyenangkan dan hadir untuk menyadarkan penonton akan realitas pahit yang terjadi di sekitar kita.
Pengepungan di Bukit Duri dibuka dengan suara pemberitaan tentang kerusuhan di Jakarta, memperkenalkan dunia distopia yang tak sepenuhnya asing bagi penonton Indonesia. Joko Anwar tidak membangun semesta khayalan jauh seperti yang biasa kita temui dalam fiksi ilmiah, tetapi justru menciptakan dunia yang hanya berjarak dua tahun dari masa sekarang, tahun 2027.
Inilah kekuatan film ini, kita tidak merasa sedang menonton masa depan yang tak mungkin, tapi seolah mengintip cermin dari jalan yang sedang kita tempuh sebagai bangsa.
Distopia yang ditampilkan bukan sekadar kelam secara visual, tetapi secara struktural dan sosial. Ada rasa putus asa yang meresap dari tiap adegan, dari masyarakat yang sudah terbiasa dengan kekacauan, dari institusi yang gagal, dari suara-suara kebencian yang sudah dianggap normal. Film ini menampilkan kota yang tak lagi mampu membedakan mana baik dan buruk, yang hidup dengan trauma tak terselesaikan akibat peristiwa tragis di tahun 2007.
Yang membuat latar ini makin menyesakkan adalah kenyataan bahwa sebagian besar elemen yang ditampilkan memang pernah atau sedang terjadi di Indonesia, dari konflik rasial, pendidikan yang timpang, hingga trauma sosial yang diwariskan.
Penonton tidak diajak untuk berimajinasi, melainkan untuk berkaca. Dunia distopia dalam film ini terasa seperti hasil simulasi dari kesalahan-kesalahan sosial yang tak pernah diatasi. Maka wajar jika banyak yang menyebut film ini sebagai pengalaman menonton yang mengguncang, karena ia seperti membuka kotak luka yang belum pernah benar-benar sembuh.
SMA Duri: Cermin Kekacauan Sosial dan Kekerasan Struktural

Latar utama film Pengepungan di Bukit Duri adalah SMA Duri, sebuah sekolah ‘buangan’ tempat murid-murid yang sudah dianggap gagal oleh sistem dikumpulkan.
Di sinilah tokoh utama, Edwin (Morgan Oey), ditugaskan sebagai guru baru. Dari luar, sekolah ini terlihat seperti institusi pendidikan biasa. Namun begitu memasuki dindingnya, penonton langsung dihadapkan pada realitas yang brutal, ruang kelas yang lebih mirip kandang konflik, murid-murid yang terbiasa menyelesaikan masalah dengan kekerasan, dan guru-guru yang tak lagi punya wibawa.
Joko Anwar menggunakan SMA Duri sebagai miniatur dari Indonesia. Di sinilah tergambar secara telanjang bagaimana keluarga disfungsional, pendidikan yang gagal, dan masyarakat yang permisif terhadap kekerasan, membentuk generasi muda yang kehilangan arah.
Edwin, seorang guru yang datang dengan idealisme, langsung mendapat perlawanan keras dari murid bernama Jefri, yang memimpin sekelompok siswa untuk mengepung sang guru dalam satu malam penuh ketegangan.
Kekacauan yang terjadi di sekolah itu bukan semata karena kenakalan remaja, tapi karena akumulasi dari trauma sosial yang diwariskan. Anak-anak di SMA Duri bukan hanya pelaku kekerasan, tetapi juga korban dari lingkungan yang keras dan tidak memberi mereka pilihan lain.
Di sinilah kritik sosial Joko Anwar muncul tajam: ketika institusi yang seharusnya membentuk karakter justru menjadi alat penindas. Penonton dipaksa menatap kenyataan bahwa kekerasan di masyarakat hari ini bukan kebetulan, melainkan hasil dari sistem yang membusuk sejak lama.
Kekerasan Nyata, Bukan Sekadar Adegan

Tidak seperti karya Joko Anwar sebelumnya yang mengandalkan unsur horor supranatural, Pengepungan di Bukit Duri justru mengerikan karena kejujurannya menampilkan kekerasan manusiawi. Adegan-adegan dalam film ini bukan semata dibuat untuk mengejutkan, tetapi untuk menggambarkan bagaimana kekerasan telah menjadi bagian dari kehidupan sosial yang menyesakkan.
Dari awal film, penonton sudah disergap oleh umpatan rasial, penganiayaan fisik, hingga penyiksaan mental yang dilakukan oleh dan terhadap anak-anak sekolah.
Ketegangan utama dalam film ini bukan hanya karena Edwin dikepung, tapi karena kita tahu: ini bisa saja terjadi, atau bahkan sudah pernah terjadi. Ketika Jefri (Omara Esteghlal) muncul sebagai pemimpin geng murid-murid pemberontak, kita melihat figur yang tidak asing, seorang remaja marah, frustrasi, dan kehilangan harapan karena hidup dalam sistem yang tidak pernah memberinya ruang untuk tumbuh.
Kekerasan yang ia lakukan bukan karena ia jahat, tetapi karena ia tidak pernah tahu cara lain untuk bertahan hidup.
Film ini menyajikan kekerasan bukan sebagai hiburan, tetapi sebagai refleksi. Inilah sebabnya mengapa banyak penonton merasa mual, lelah, bahkan terguncang setelah menontonnya. Pengepungan di Bukit Duri adalah film yang menolak untuk menyenangkan. Ia hadir untuk menyadarkan.
Di akhir film, kita tidak hanya mengingat kekerasan yang ditampilkan, tapi juga mempertanyakan: bagaimana semua ini bisa terus terjadi dan kita tetap diam?