Dok. 20th Century Studios
Sejak awal, film ini langsung terasa berbeda dari semua film Predator sebelumnya. Sudut pandang yang digunakan membuat penonton bisa merasakan bagaimana rasanya menjadi Predator—makhluk yang biasanya digambarkan dingin, tanpa perasaan, kini menjadi sosok yang justru kita dukung dan pahami perjuangannya.
Dek sebagai karakter utama digambarkan dengan cukup dalam. Ia bukan sekadar pemburu, melainkan makhluk yang ingin diakui oleh ayah dan kaumnya.
Di sini, Predator: Badlands terasa lebih personal, menampilkan dilema keluarga, pengorbanan, dan perjalanan menemukan jati diri.
Meski film ini membawa pendekatan baru, sebenarnya alur ceritanya cukup klasik. Ini adalah kisah seorang yang dianggap lemah, pergi ke tempat asing, lalu berusaha menaklukkan musuh terkuat untuk membuktikan dirinya.
Di sepanjang perjalanan, ia bertemu beberapa karakter yang membentuk rasa persahabatan, bahkan menghadirkan momen pengkhianatan kecil yang memperkaya konflik emosionalnya.
Namun meski klise, film ini tetap menarik karena pace ceritanya cepat dan dinamis. Setiap adegan terasa efektif, tidak bertele-tele, dan selalu menghadirkan sesuatu yang mendorong cerita maju.
Penonton tidak sempat merasa bosan karena transisi antar adegan berlangsung mulus dengan visual memanjakan mata.
Salah satu aspek paling mencolok adalah scoring film ini. Musik yang digunakan sangat kuat dan tepat pada momennya—mulai dari ketegangan, kesedihan, hingga kemenangan, semua dikomposisi dengan indah. Dalam beberapa adegan, scoring-nya bahkan menjadi elemen utama yang menuntun emosi penonton.
Film ini juga patut diapresiasi karena detail sensorik yang ditampilkan sangat realistis. Contohnya, ketika Dek pingsan, suasana di sekitar menjadi sunyi, lalu perlahan-lahan suara mulai kembali terdengar seiring kesadarannya pulih. Detail kecil seperti itu membuat penonton benar-benar merasakan pengalaman dari perspektif sang Predator.
Bagian aksi tentu menjadi sorotan tersendiri. Pertarungan antara Dek dan Kalisk menjadi salah satu adegan paling intens dalam film.
Visual efeknya terasa solid dan tidak berlebihan, memberi sensasi pertarungan yang mentah dan nyata. Namun yang mengejutkan, pada akhirnya Dek justru berhasil dilumpuhkan oleh Tessa, kembaran dari Thia—adegan yang memperkuat nuansa tragis sekaligus emosional di akhir cerita.
Meskipun beberapa orang mungkin berharap akhir yang lebih heroik, justru keputusan untuk membuatnya bittersweet memberi bobot emosional yang jarang ditemui dalam film Predator.
Secara keseluruhan, Predator: Badlands adalah film yang wajib ditonton, terutama bagi para penggemar franchise Predator yang ingin melihat sisi baru dari makhluk legendaris ini.
Dengan narasi yang kuat, karakterisasi mendalam, dan visual yang memukau, film ini berhasil menghidupkan kembali semesta Predator dengan pendekatan yang lebih manusiawi.
Predator: Badlands (2025)
Dok. 20th Century Studios
Dok. 20th Century Studios
Dok. 20th Century Studios
Dok. 20th Century Studios
Dok. 20th Century Studios