Apa Itu Fomo? Bahasa Gen Z yang Sedang Ngetren

- FOMO adalah rasa takut tertinggal dari peristiwa atau informasi menarik, kerap diasosiasikan dengan kecemasan melihat orang lain "lebih bahagia" di media sosial.
- Sejarah FOMO pertama kali dikenali oleh Dr. Dan Herman pada tahun 1996, dipopulerkan pada 2004 oleh Patrick J. McGinnis, dan berkembang menjadi istilah umum dalam budaya digital.
- Gejala FOMO muncul dalam bentuk kebiasaan berlebihan mengetahui aktivitas orang lain, kurang puas dengan hidup sendiri, dan perilaku negatif di media sosial.
Di era digital yang serba cepat, istilah FOMO semakin akrab di kalangan Gen Z. Akronim dari Fear of Missing Out ini menggambarkan perasaan takut tertinggal informasi, momen seru, atau tren yang sedang ramai dibicarakan orang lain, terutama di media sosial.
Fenomena ini bukan sekadar istilah gaul, tapi juga mencerminkan kondisi psikologis yang nyata dan bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mental. Artikel ini akan membahas lebih dalam tentang FOMO, mulai dari pengertiannya, sejarah, gejala yang muncul, hingga hubungannya dengan media sosial.
Mengenal Apa Itu FOMO

FOMO atau Fear of Missing Out adalah rasa takut tertinggal dari suatu peristiwa atau informasi yang dianggap menarik, menyenangkan, atau penting. Istilah ini kerap diasosiasikan dengan rasa cemas ketika melihat orang lain terlihat "lebih bahagia", "lebih update", atau "lebih sukses" di media sosial. Gen Z sering menggambarkan kondisi ini sebagai “takut kudet” atau takut tidak ikut tren. FOMO melibatkan dua aspek utama: keinginan untuk terus terhubung dengan apa yang dilakukan orang lain dan kebutuhan untuk menjaga hubungan sosial yang kuat.
Dalam praktiknya, FOMO mendorong seseorang untuk selalu mengecek ponsel, media sosial, atau ikut dalam aktivitas yang sebenarnya tidak terlalu diinginkan hanya demi tidak merasa tertinggal. Dorongan ini bersifat kompulsif dan bisa menimbulkan stres apabila tidak terpenuhi.
Meski terlihat sepele, FOMO merupakan bentuk ketidakpuasan yang muncul akibat pembandingan sosial dan ilusi bahwa orang lain selalu memiliki kehidupan yang lebih menyenangkan. Jika tidak disadari sejak dini, FOMO bisa mengganggu kestabilan emosi dan membuat seseorang kehilangan fokus terhadap apa yang benar-benar penting dalam hidupnya.
Sejarah Singkat FOMO

Konsep FOMO pertama kali dikenali oleh Dr. Dan Herman, seorang ahli strategi pemasaran, pada tahun 1996. Ia mencatat fenomena ini dalam risetnya dan kemudian mempublikasikannya secara akademis pada tahun 2000 di The Journal of Brand Management.
Namun, istilah FOMO sendiri baru dipopulerkan pada 2004 oleh Patrick J. McGinnis dalam sebuah artikel di majalah The Harbus, Harvard Business School. Sejak itu, FOMO berkembang menjadi istilah umum dalam budaya digital. Sebelum era internet, fenomena serupa telah dikenal dalam bentuk "mengikuti keluarga Jones", yaitu keinginan untuk tidak kalah gaya atau status dari tetangga.
FOMO kemudian menjadi lebih luas karena orang-orang kini membagikan kehidupannya secara publik melalui media sosial. Pengalaman-pengalaman yang dibagikan pun cenderung bersifat positif dan menyenangkan, menciptakan persepsi bahwa orang lain selalu bahagia.
Hal ini memperkuat rasa takut tertinggal. Istilah FOMO pun kini telah menjadi bagian dari kosakata modern, sering muncul sebagai tagar, meme, hingga pembahasan serius dalam psikologi dan media massa seperti The New York Times atau Salon. Tak bisa dimungkiri, FOMO telah menjadi bagian penting dari budaya digital generasi masa kini.
Gejala Terjadinya FOMO

Gejala FOMO bisa muncul dalam bentuk kebiasaan atau perasaan tertentu yang tampak sepele namun berdampak signifikan. Salah satu yang paling umum adalah keinginan berlebihan untuk selalu mengetahui aktivitas orang lain, terutama lewat media sosial. Seseorang dengan FOMO merasa cemas atau gelisah jika tidak mengecek ponselnya dalam waktu lama. Mereka cenderung terobsesi terhadap postingan, story, atau notifikasi, dan merasa tertinggal jika tidak ikut serta dalam kegiatan populer.
Tak jarang, penderita FOMO merasa kurang puas dengan hidupnya sendiri karena terus membandingkan diri dengan pencapaian atau kesenangan orang lain. Gejala ini bisa menyebabkan kelelahan mental, stres, bahkan penurunan harga diri.
Di sisi lain, FOMO mendorong perilaku negatif seperti terus aktif di media sosial meski sedang berkumpul dengan orang lain (phubbing), mengemudi sambil mengecek ponsel, atau kehilangan fokus dalam belajar dan bekerja. Studi menunjukkan bahwa semakin rendah tingkat kepuasan psikologis dasar seseorang, seperti otonomi, kompetensi, dan keterkaitan, maka semakin tinggi tingkat FOMO-nya. Gejala ini perlu diwaspadai karena bisa berkembang menjadi gangguan psikologis yang lebih serius bila dibiarkan terus-menerus.
Hubungan FOMO dan Media Sosial

FOMO sangat erat kaitannya dengan media sosial. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter menjadi ladang subur bagi tumbuhnya rasa takut tertinggal. Di media sosial, orang-orang biasanya hanya menampilkan sisi terbaik dari hidup mereka, liburan mewah, pencapaian, momen bahagia yang menciptakan ilusi bahwa hidup mereka sempurna.
Bagi pengguna lain, ini bisa memicu FOMO, karena merasa hidup mereka kurang menarik dibandingkan orang lain. Akibatnya, muncul dorongan untuk terus mengecek media sosial agar tidak ketinggalan informasi atau tren terbaru. Bahkan, banyak yang merasa harus ikut tren agar tetap relevan secara sosial. Penelitian dalam Psychiatry Research menunjukkan bahwa penggunaan media sosial yang berlebihan dapat memperbesar risiko FOMO, tidak hanya pada remaja tetapi juga orang dewasa.
Smartphone pun mempercepat siklus ini dengan memberikan akses 24 jam terhadap notifikasi dan pembaruan. Akibatnya, banyak orang sulit melepaskan diri dari perangkat digital. Motivasi di balik ini semua adalah kebutuhan dasar manusia untuk terhubung dan diakui.
Maka, penting bagi pengguna media sosial untuk memiliki kesadaran digital agar tidak terjebak dalam lingkaran FOMO yang merugikan secara emosional dan mental.