Apakah Sumpah Serapah Bisa Meredakan Rasa Sakit? Begini Faktanya

Kamu mungkin pernah bertanya-tanya, kenapa jika kita sakit, sering banget sumpah serapah dilontarkan. Apakah dengan melontarkan kata-kata tersebut, sakit yang kita alami akan reda?
Manusia memang memiliki reaksi tersendiri terhadap rasa sakit. Terlihat biasa, ternyata secara ilmiah, para peneliti mengatakan kalau nyatanya kata-kata tersebut dapat meredam rasa sakit. Kamu percaya?
1. Miskonsepsi sumpah serapah memperburuk rasa sakit

Dalam buku yang berjudul “Swearing Is Good for You” pada 2017, ilmuwan dan jurnalis asal Inggris, Emma Byrne, mengatakan bahwa sebenarnya mayoritas psikolog zaman dulu menganggap sumpah serapah hanya memperburuk rasa sakit karena distorsi kognitif manusia.
Distorsi fungsi kognitif saat bersumpah serapah disebut membuat manusia merasa bahwa musibah atau kesakitan yang mereka rasakan adalah “akhir dari segalanya.”
“Sumpah serapah dianggap memperkuat rasa ketidakberdayaan manusia,” tulis Byrne, dilansir dari situs Wired.
2. Mematahkan distorsi kognitif dan miskonsepsi sumpah serapah atas rasa sakit

Byrne kemudian bercerita bahwa bukunya diinspirasi oleh sebuah percobaan yang dilakukan oleh Richard Stephens, seorang psikolog perilaku dari Keele University, Staffordshire, Inggris.
Intinya, Stephens penasaran pada pernyataan para psikolog zaman dulu. Jika memang sumpah serapah hanya menambah rasa sakit, mengapa manusia otomatis mengeluarkannya saat merasa sakit?
Dalam penelitian gabungan yang bertajuk “Effect of swearing on strength and power performance” pada 2009, Stephens melibatkan 67 mahasiswa yang bergabung secara sukarela. Sang psikolog kemudian memerintahkan mereka untuk mencelupkan tangan mereka ke dalam air es selama mungkin.
Percobaan tersebut dipecah ke dalam dua sesi: sesi pertama dengan sumpah serapah dan sesi kedua dengan perkataan biasa. Jadi, jika mereka mulai merasakan sakit, mereka bisa bersumpah serapah atau hanya “aduh-aduhan”.
Hasilnya, Stephens mencatat bahwa pada sesi pertama, para mahasiswa dapat menahan rasa sakit akibat dinginnya es lebih lama dari sesi kedua.
Berdasarkan temuan tersebut, maka Stephens menyatakan bahwa sebenarnya sumpah serapah dapat meningkatkan daya tahan seseorang terhadap rasa sakit, bukan memperburuk.
3. Apa yang terjadi pada otak kita ketika mengeluarkan kata-kata tersebut saat merasakan sakit?

Dilansir dari Science Daily, Stephens dan timnya mengemukakan bahwa terdapat hubungan antara otak manusia dan sumpah serapah.
“Sumpah serapah telah ada selama berabad-abad dan menjadi konsep fenomena linguistik manusia yang hampir universal. Fenomena itu menggunakan pusat-pusat emosional pada otak dan tampaknya muncul di otak kanan; padahal, sebagian besar produksi bahasa terjadi di otak kiri,” tutur Stephens.
Saat mengeluarkan hal tersebut di saat sakit, otak manusia mengeluarkan rangsangan emosional fight-or-flight dan meningkatkan detak jantung sehingga mengurangi persepsi rasa sakit.
4. Korelasi kekerasan dengan daya tahan terhadap rasa sakit

Selain Byrne, ternyata, percobaan Stephens menarik minat salah satu mahasiswinya, Claire Allsop. Penelitian Allsop, dibimbing oleh Stephens, berhasil memenangkan penghargaan dari British Psychological Society.
Dalam penelitiannya pada 2012 berjudul “Effect of Manipulated State Aggression on Pain Tolerance“, Allsop ingin mengetahui apakah dengan membuat seseorang agresif dapat meningkatkan daya tahannya terhadap sakit.
Melibatkan 40 sukarelawan, Allsop menyuruh mereka bermain dua jenis game: tembak-tembakan yang agresif dan golf yang menenangkan. Setelahnya, mereka melakukan tes air es yang sama dengan Stephens.
Hasilnya, mereka yang bermain game tembak-tembakan dapat bertahan lebih lama (2 – 3 menit) dibandingkan mereka yang bermain game golf (sekitar 1 menit).
5. Apakah semua sumpah serapah bisa meredakan sakit?

Nah, untuk menguji hal tersebut, pada April 2020, Stephens dan rekannya, Olly Robertson, kembali melakukan riset. Penelitian itu bertajuk “Swearing as a Response to Pain: Assessing Hypoalgesic Effects of Novel ‘Swear’ Words.”
Sesuai namanya, Stephens dan Robertson membuat dua sumpah serapah baru yang akan diadu dengan satu kata kasar yang sudah lumrah diucapkan saat sakit dan satu kata keluhan biasa.
Hasilnya, kata kasar konvensional ternyata meningkatkan toleransi rasa sakit hingga 32% dan ambang batas nyeri hingga 33 persen. Ternyata, kata kasar konvensional tersebut juga meningkatkan emosi, humor, dan pengalihan rasa sakit.
Berbekal hasil tersebut, Stephens dan Robertson mengatakan bahwa sumpah serapah yang dipelajari sejak lama dan pengondisian aversif seseorang berperan dalam meredam rasa sakit.
Dengan kata lain, bagaimana dan sejak kapan seseorang mempelajari hal itu dapat berkontribusi besar pada fungsi sumpah serapah sebagai pereda rasa sakit.
Sumber: idntimes.com