[OPINI] MPL Dikritik, Jadi Solusi Dongkrak Prestasi Timnas MLBB?

Skena professional Mobile Legends di Indonesia (MPL) belakangan jadi obrolan, khususnya setelah catatan buruk timnas MLBB di Sea Games Kamboja.
Tapi untuk penulis, sorotan itu sebenarnya kurang tepat. Kenapa? Apakah kalau timnas sepakbola Indonesia gagal maka yang salah adalah liganya? Enggak gitu kan.
Ketika timnas mengalami kegagalan, yang disorotin ya internal dulu. Misalkan, sorotan ke coach kepala, atau sorotan ke proses seleksi, atau sorotan ke pemainnya langsung.

Langkah sorotan ke coach sudah menjadi paling umum dilakukan. Misalkan timnas sepakbola Inggris yang hancur-hancuran di tangan Steve McLaren, yang disorot ya bukan liga Inggrisnya, tapi Steve McLaren.
Atau bisa juga dari proses seleksi. Misalkan saat Sea Games 2019 Filipina, ada kualifikasi terbuka, lalu ada juga tim undangan dari juara piala Presiden, juara MPL season 4, juara IEL, dan open qualifier yang diadu satu sama lain.
Saat itu, seingat penulis, semua berjalan lancar, dan EVOS Legends jadi pemenang. Tapi ketika pengumuman timnas, justru ada mix tim (gabungan pemain dari EVOS Legends dan ONIC Esports) yang membuat rencana satu tim full jadi berubah.

Bisa juga yang menjadi sorotan adalah pemainnya langsung, khususnya ketika terjadi tindakan indisipliner. Misalkan di sepakbola, si tengil Mario Balotelli yang dicoret dari timnas Italia ketika melanggar peraturan.
Nah apakah sorotan ke MPL karena gagalnya timnas MLBB adalah langkah tepat? Penulis beranggapan agak “kejauhan”.
Benar, para pemain timnas adalah para pemain yang bertanding di MPL. Watak dan karakter serta profesionalisme pemain memang bisa terbentuk di Liga. Tapi bukankah yang terdekat dengan pemain adalah justru klub atau tim serta pemain itu sendiri?

Dan standar professional itu sendiri juga berbeda-beda antar tim karena prinsip professional adalah menaati kontrak yang berlangsung kan? Juga jangan lupakan kaitan professional dengan profesi.
Artinya, bertanding MLBB bagi pemain professional merupakan profesi untuk mereka. Profesi untuk memberi penghidupan sehari-hari.
Sekarang, ketika pemain bertanding di timnas, yang dibawa adalah jiwa nasionalisme untuk bela negara. Ketika pemain tersebut gagal memberikan performa terbaik, yang dipertanyakan adalah jiwa nasionalismenya, bukan?

Lanjut ke “fase” berikutnya. Sorotan ke MPL saat ini berkembang ke arah “ekslusivitas” liga yang tertutup dan disebut meraup untung untuk kepentingan yang berada di dalamnya.
Kita tarik ke belakang. Sejak Season 1 hingga season 3, MPL bersifat terbuka dimana tim-tim yang bertanding di fase liga merupakan tim-tim yang lolos dari penyisihan, atau ada sistem open qualifier di dalamnya, walau yang juara ya tim-tim profesional juga (NXL di season 1, RRQ di season 2, dan ONIC Esports di season 3).
Tapi selain melalui kualifikasi, ada juga tim-tim yang langsung lolos ke babak liga utama berdasarkan catatan prestasi di musim-musim sebelumnya.

Sistem tersebut membuat MPL bisa diikuti oleh tim-tim yang notabenenya berstatus tim komunitas, jika berhasil lolos dari kualifikasi.
Barulah pada season 4, hadir franchise liga MPL yang berisikan 8 tim. Kedelapan tim tersebut penulis lebih suka menyebut sebagai konsorsium, memiliki aturan administratif untuk bergabung, dan yang paling bombastis saat itu adalah penyiapan biaya 1 juta USD.
Hal tersebut langsung menjadi pro dan kontra, khususnya menyoroti 1 juta USD, dan dipertanyakan, apakah layak dan apakah akan balik modal?
Jika hanya dalam 1 musim, angka tersebut tidak bisa didapatkan, atau investasi dari tim-tim tersebut tidak sampai BEP (break even point), ya istilahnya balik modal.

Tapi keyakinan konsorsium terus berjalan ke season-season berikutnya, hingga season 11. Apakah artinya tim-tim tersebut merugi? Menurut penulis, ada value lain yang didapatkan tim-tim tersebut dan membuat mereka bisa stay di konsorsium. Bahkan mungkin sudah mencapai BEP.
Konsorsium liga memetik hasil dari apa yang mereka tanam. Hal yang biasa kalau percaya dengan sistem tabur-tuai, “apa yang kau tabur, itu yang akan kau tuai”.
MPL kini mendapat sorotan lain yaitu dinilai ekslusif dan membatasi perkembangan tim-tim komunitas yang berpotensi di Indonesia.
Memang tidak salah. Tetapi jika bicara tentang profesionalisme, apakah tim-tim komunitas sanggup memenuhi standar yang diberlakukan oleh konsorsium?

Eh balik ke awal, apakah MPL sebagai liga adalah biang kegagalan timnas? Menurut penulis, tidak.
Hal yang bisa dievaluasi terkait kegagalan di Sea Games silam, menurut penulis, adalah apakah keputusan coah sudah tepat? Apakah pemain sudah siap tempur dan memiliki rasa nasionalisme yang tinggi? Apakah proses pemilihan pemain sudah tepat? Apakah waktu persiapan sudah cukup?. Bukan malah mengkritik liganya (MPL).
Jika memang MPL tidak cocok merepresentasikan liga nasional karena sifatnya yang tertutup, induk organisasi esports bisa menunjuk operator liga lain yang sudah ada, atau membuka tender bagi EO atau operator liga lain untuk menjalankan liga sesuai dengan yang diinginkan.
Misalnya, terbuka untuk umum, ada kualifikasi terbuka, ada babak main event, ada juara nasional yang nantinya bisa mewakili Indonesia di ajang…multi event olahraga yang mewakili Indonesia.
Karena, kalau untuk mewakili di ajang M series maupun MSC sih itu keputusan dari publisher dan developer sebagai pemilik turnamen dan pemilik IP ya.

Jadi, ya bisa saja ke depannya ada liga Mobile Legends Nasional, misalnya, untuk mencari atlet terbaik yang memiliki rasa nasionalisme tinggi dan siap bertanding mewakili Indonesia di ajang multi event olahraga dan ada cabor esports. Tapi di sisi lain konsorsium MPL tetap menjalankan bisnis mereka sebagai bisnis entertainment.
Dan pemain-pemain Mobile Legends di Indonesia mendapatkan wadah lainnya untuk unjuk bakat serta kemampuan mereka.
Eh tapi nih yaaa.. memang nomor esports itu cuma MLBB? Kan masih ada nomor lain yang juga gak kalah penting dan berprestasi loh!
Ada PUBG MOBILE yang konsisten di Sea Games. Ada Dota 2 yang juara di IESF 2022 Bali. Ada juga potensi dari nomor-nomor lain. Ingat, Esports Indonesia pertama meraih medali itu dari Clash Royale di Asian Games 2018 Jakarta-Palembang! Walau saat itu masih cabor eksibisi.