Insiden Kekerasan Brandoville Menyoroti Budaya Crunching Industri Game

Insiden kekerasan yang terjadi di Brandoville Studios menjadi bahasan di industri game lokal, sekaligus menyoroti dampak buruk dari budaya crunching.
Crunching dalam industri game merujuk pada kebiasaan lembur dalam waktu panjang dan tanpa kompensasi sepadan, yang diterapkan untuk mengejar deadline perilisan sebuah game.
Crunching memiliki dampak buruk pada kesehatan fisik dan mental. Bahkan, niatan crunching untuk mengejar deadline dan memotong pengeluaran justru menghasilkan produk akhir di bawah standar.
Kasus ini telah lama terjadi pada Brandoville Studios asal Indonesia. Studio tersebut didirikan oleh CEO Ken Lai. Cherry Lai, istri Ken, menjadi COO di studio tersebut.
Brandoville telah terlibat dalam beberapa proyek game dan animasi dari perusahaan besar seperti Naughty Dog, Activision Blizzard, Relic Entertainment, Netflix, dan lain-lain.
Beberapa mantan karyawan Brandoville telah bersuara terkait perlakuan buruk yang mereka terima di studio tersebut, baik secara verbal hingga nonverbal.
Timeline insiden kekerasan Brandoville Studios
1. Video investigasi People Make Games

Masalah yang melibatkan Brandoville Studios mulai mengemuka di tahun 2021 saat channel YouTube People Make Games merilis video bertajuk “How Game Publishers Buy Crunch Overseas.”
Video tersebut mengungkap beberapa studio game AAA yang menyewa jasa studio outsource, yang juga terlibat dalam praktik crunching. Brandoville Studios menjadi salah satu subjeknya.
Glassdoor, situs review lokasi kerja mengungkap banyak mantan pegawai Brandoville mengeluhkan praktik lembur tanpa bayaran serta jadwal kerja di weekend untuk memenuhi deadline.
Satu orang mengaku bekerja sampai pukul 3 subuh termasuk di hari libur. Mantan pegawai lainnya menambahkan bahwa mereka harus lemburan sampai 30 jam per minggunya.
Mantan pegawai lainnya mengungkap pengalaman buruk yang berhubungan dengan istri dari Ken Lai, yang digambarkan sebagai sosok manipulatif.
Suatu ketika, mantan pegawai ini mendapatkan izin untuk libur di hari Senin karena sebelumnya masuk kerja di hari Jumat.
Namun keesokan harinya, mereka dipaksa masuk oleh Cherry sambil meng-guilt trip mereka dengan menyebut nama teman mereka yang tetap masuk di hari Senin.
Tak hanya itu saja, para pegawai Brandoville digaji dengan upah rendah. Staf junior mendapatkan gaji sekitar Rp 4 juta, yang berada di bawah standar UMR Jakarta.
2. Klarifikasi dari CEO Ken Lai

2 bulan berselang sejak video expose dari People Make Games rilis, External Development Summit mengadakan diskusi panel yang berjudul “Let’s Talk About Crunch”.
Diskusi ini dihadiri oleh petinggi di industri game seperti dari Microsoft, Gearbox, dan The Coalition. Studio outsource juga turut diundang, salah satunya adalah Ken Lai dari Brandoville Studios.
Ken menggunakan kesempatan pada diskusi panel ini untuk menjawab beberapa sangkaan terhadap studionya yang menerapkan budaya crunching dan abusif.
Jawaban Ken pada diskusi tersebut bertolak belakang dengan pengakuan dari beberapa mantan pegawai Brandoville yang tidak mendapatkan kompensasi sepadan.
“Pandangan Ken soal lembur singkatnya menyalahkan kemampuan pegawainya atau klien yang menyepelekan beban kerja kita,” ujar seorang mantan pegawai Brandoville yang mengomentari diskusi panel tersebut.
“Dia memanfaatkan panel tersebut untuk mempromosikan Brandoville sekaligus menyangkal investigasi terhadap budaya di studionya,” sambungnya.
3. Pengakuan pahit dari seorang mantan karyawan Brandoville

Pada bulan September 2024, sebuah post berjudul “ABUSE AND MISTREATMENT BY CHERRY LAI” yang dishare melalui Canva oleh seorang mantan karyawan Brandoville Studio mengungkap kondisi menyedihkan dari para pegawai yang bekerja di sana.
Sang mantan karyawan (seterusnya akan disebut sebagai A) menceritakan pengalaman buruknya bekerja di Brandoville Studio, serta hubungannya dengan COO Cherry Lai yang abusif.
A menjabarkan berbagai perlakuan tidak menyenangkan yang ia terima dari Cherry, mulai dari kekerasan verbal, manipulasi, hingga ancaman terhadap kawan dan keluarganya.
A bahkan dipaksa untuk melakukan pekerjaan di luar jobdesknya, untuk memenuhi kebutuhan pribadi Cherry. Ia akan dihukum jika melakukan kesalahan sekecil apapun.
Tindakan abusif Cherry juga berlanjut ke ranah finansial dengan memaksanya mengikuti course berharga jutaan Rupiah, membuka kartu kredit untuk belanja pribadi Cherry, hingga menahan gajinya.
A juga mengalami insiden kekerasan fisik dari Cherry di Brandoville, mulai dari dicekik, ditendang, hingga kepalanya dibenturkan ke tembok.
GGWP telah memastikan kondisi A saat ini kepada orang dekatnya. Saat ini ia sudah aman, namun harus menjalani pemulihan karena trauma fisik dan mental yang ia terima.
4. Penutupan Brandoville Studios, dan kemunculan studio baru

Pada saat bersamaan, Brandoville Studios mengumumkan bahwa mereka telah menutup studio mereka secara permanen.
“Meskipun bab ini berakhir, dampak dari karya kami dan ikatan yang telah kami bentuk akan terus hidup. Terima kasih telah menjadi bagian penting dari perjalanan Brandoville Studios,” tulis mereka di akun media sosial.
Kabar ini mendapatkan tanggapan dingin, dimana beberapa mantan karyawan berkomentar sinis dan beralih merayakan penutupan studio tersebut.
Tak lama berselang, sebuah studio baru bernama Lailai Studios didirikan, yang diduga dikepalai oleh Ken dan Cherry Lai.
Beberapa mantan karyawan Brandoville menduga bahwa lewat studio baru ini, Ken dan Cherry akan melakukan praktik yang sama dengan yang mereka lakukan di Brandoville.
GGWP telah berusaha menghubungi pihak Brandoville Studios, namun sampai artikel ini ditulis tidak mendapatkan balasan.