#MAIN Asbak: Game Hack and Slash Penuh Mistisisme Indonesia

- Asbak: game hack and slash berlatar Indonesia pasca-apokaliptik dengan sentuhan mistisisme lokal dan makhluk supranatural khas nusantara.
- Vifth Floor fokus ke satu proyek saja untuk TGS 2025, memanfaatkan ajang tersebut sebagai pintu ke networking dan insight global.
- Kolaborasi antara Vifth Floor dan Team Fossil mengangkat budaya Indonesia sebagai elemen game design, dengan kekuatan dan tantangan dalam industri game dev Indonesia.
MAIN (Made in Indonesia) adalah sebuah konten spesial yang kami hadirkan untuk mendokumentasikan perjalanan delapan game karya anak bangsa yang terpilih tampil di Tokyo Game Show (TGS) 2025. Lewat serangkaian artikel indepth, kami mengangkat kisah di balik layar, bagaimana game-game ini dikembangkan, tantangan yang mereka hadapi, dan bagaimana mereka bisa mewakili Indonesia di salah satu ajang game internasional paling bergengsi.
Untuk seri kedelapan artikel MAIN, kami akan mengulas lebih jauh game Asbak karya Vifth Floor & Fossil Team.
Untuk artikel kali ini, GGWP berkesempatan mewawancarai tiga sosok penting di balik penggarapan Asbak. Mereka adalah Rudy Indrawanto, Co-founder Vifth Floor yang mengawal jalannya produksi dan publikasi; Adam Ghaviyasha, CEO Team Fossil sekaligus inisiator awal proyek ini; serta Rifan Budiawan, art lead yang membentuk identitas visual dan karakteristik dunia Asbak. Kolaborasi antara Vifth Floor dan Team Fossil ini melahirkan sebuah game hack and slash berlatar Indonesia pasca-apokaliptik, lengkap dengan sentuhan mistisisme lokal dan deretan makhluk supranatural khas nusantara.
Dari Tokyo Game Show 2024 ke 2025: Fokus ke Satu Proyek

Bagi Vifth Floor, TGS bukanlah ajang yang asing. Tahun 2024 mereka sudah ikut serta sebagai bagian delegasi Indonesia, bahkan membawa tiga game sekaligus. Namun, tahun ini strategi mereka berubah.
“Kami belajar dari tahun lalu,” ujar Rudy. “Karena waktu di lokasi terbatas, manpower juga terbatas, lebih baik fokus showcase satu proyek saja. Tahun ini kami hanya bawa Asbak.”
Informasi pendaftaran TGS 2025 mereka dapat lebih awal dari dari event Halal Bi Halal Tokyo Game Show yang diselenggarakan oleh Asosiasi Game Indonesia (AGI). Kebetulan, jadwal rilis Asbak hanya berselang beberapa bulan setelah TGS, momen yang pas untuk memaksimalkan promosi. Meski jumlah game yang diberangkatkan tahun ini lebih sedikit, hanya delapan, Asbak berhasil masuk daftar.
Tokyo Game Show: Pintu ke Networking dan Insight Global

Bagi Rudy, TGS adalah peluang berharga bukan hanya untuk promosi, tetapi juga membangun jaringan. “Di TGS kita bisa ketemu calon publisher, partner marketing, bahkan melihat langsung standar global,” ujarnya.
Rifan menambahkan, sebagai tim baru di industri game, ini adalah kesempatan untuk memahami peta persaingan. “Kami ingin tahu ekosistemnya seperti apa, lawan main kami nanti seperti apa.”
Dari Asep Si Pengendali Asap ke Dunia Mistis Indonesia

Nama “Asbak” punya cerita unik. Awalnya, karakter utama game ini bernama Asep, dengan kekuatan mengendalikan asap rokok. “Idenya dulu mekanik utamanya senjata dari asap rokok. Tapi kami sadar susah jual game dengan tema rokok. Risiko kena ban tinggi,” jelas Rifan.
Konsepnya kemudian digeser ke arah mistisisme Indonesia, namun nama “Asbak” terlanjur melekat. “Setiap kali kami posting, selalu ada yang tanya kenapa namanya Asbak. Itu bikin penasaran, akhirnya orang cari tahu,” tambahnya.
Kolaborasi Dua Gaya

Asbak bermula dari proyek solo Adam. “Art awalnya bahkan cuma pakai PowerPoint,” kenang Rifan. Saat bergabung, ia membawa inspirasi visual dari game Jepang BlazBlue Entropy Effect, namun latar cerita tetap diubah agar khas Indonesia sebuah dunia pasca-apokaliptik di mana makhluk supranatural seperti pocong dan genderuwo berkeliaran.
Proses kolaborasi tak selalu mulus. Perbedaan gaya produksi jadi tantangan tersendiri. “Adam suka animasi efisien, cuma dua frame tapi penuh stretch and squash. Saya maunya frame banyak biar smooth. Akhirnya kompromi, frame sedikit tapi visual lebih detail,” jelas Rifan. Di tim, kompromi ini sampai dijuluki “Adam Style”.
Budaya Indonesia sebagai Elemen Game Design

Mengangkat latar Indonesia bukan sekadar gimmick visual. Tim secara aktif mengkurasi hantu-hantu dari budaya lokal dengan mempertimbangkan aspek cerita dan mekanik gameplay. “Kami punya list hantu dari buku dan akun Instagram Hantu Indonesia. Misalnya pocong lompat, berarti di game juga lompat. Genderuwo besar dan kuat, berarti attack rate tinggi,” papar Rifan.
Pendekatan ini menciptakan musuh yang terasa familiar bagi pemain lokal, namun tetap menarik dan eksotis di mata pemain internasional.
Kekuatan dan Tantangan Game Dev Indonesia

Menurut Rifan, salah satu keunggulan developer Indonesia adalah kebebasan kreatif. “Ekosistem belum terlalu settle, jadi kita bisa jadi trendsetter. Belum banyak game 2D yang jadi tolok ukur,” katanya. Namun, ia mengakui kualitas rata-rata developer luar masih di atas.
Rudy menambahkan bahwa audiens lokal besar dan patriotisme tinggi bisa jadi modal, meski konversi ke pembelian rendah. “Like and share banyak, tapi beli belum tentu. Untuk game premium, pasar luar negeri lebih siap,” ujarnya.
Karena spending power masyarakat Indonesia rendah, Vifth Floor memilih pasar utama internasional, sambil memanfaatkan audiens lokal untuk mendongkrak visibilitas. “Kalau dipaksakan untuk pasar yang belum siap, justru capek sendiri. Lebih baik target global, tapi gunakan audiens Indonesia sebagai leverage viral,” jelas Rudy.
Pandangan tentang Hari Game Indonesia

Dalam rangka Hari Game Indonesia (Hargai) 8 Agustus, ketiganya punya pandangan beragam. Bagi Rifan, setiap hari adalah Hari Game Indonesia karena promosi game Indonesia harus konsisten. Adam melihat Hari Game Indonesia sebagai penanda keseriusan negara dalam mengakui industri game, yang dulu dianggap hobi semata. Sementara Rudy menilai Hari Game Indonesia bisa jadi momen edukasi pemain agar memahami pentingnya membeli game premium sebagai bentuk dukungan.
Harapan untuk Lima Tahun ke Depan
Semua sepakat bahwa yang perlu ditingkatkan adalah kualitas audiens lokal sebagai konsumen. “Indonesia sudah banyak talent, tapi pemainnya harus naik kelas jadi pembeli,” kata Rifan. Adam menambahkan perlunya kesadaran bahwa mendukung game lokal bukan cuma soal main, tapi juga membeli. Rudy menekankan pentingnya dukungan finansial dari pemerintah dan investor lokal yang paham industri game. “Kalau di luar negeri, ide bagus langsung dapat dana. Di sini masih minim,” ujarnya.
Lebih lanjut, karean permasalahan terkait audiens ini spesifik hanya untuk game premium, Team Fossil dan Vifth Floor juga akan berencana untuk merilis Asbak versi mobile agar pemain lokal punya alternatif yang lebih sesuai dengan preferensi mereka.
Setelah TGS 2025, Vifth Floor dan Team Fossil berfokus pada perilisan Asbak, termasuk versi mobile untuk menjangkau pasar lokal. Adam menyebut akan ada konten baru berkala pasca rilis. Rifan menegaskan mereka ingin memberi perhatian penuh pada satu proyek sebelum melangkah ke game berikutnya, meski ide-ide baru sudah ada di pembicaraan internal.