Meskipun masyarakat mengidolakan para Name Engraver, Xilonen menganggap semua itu cuma romantisasi berlebihan.
Baginya, pekerjaan menempa nama adalah soal teknik, latihan, dan komunikasi yang baik.
Saat pelanggan datang ke bengkelnya, bukan sambutan hangat atau pujian yang mereka dapat, tapi selembar formulir dengan banyak kolom kosong yang harus diisi.
Xilonen juga sangat mandiri dan tak mudah terpengaruh pujian atau hinaan.
Saat panggung acara tari rusak mendadak di tengah kompetisi, ia dengan santai memperbaikinya sambil DJ-an, memutar musik yang bikin semua orang terkesima.
Tapi saat ditawari peran resmi sebagai DJ, ia menolak. Baginya, cukup bantu kalau sempat karena yang terpenting adalah kebebasan.
Namun di balik sikap cueknya, Xilonen punya hati yang dalam. Saat gurunya, Teyiz, wafat, ia tak tinggal diam melihat nama gurunya dicemarkan.
Ia menghabiskan waktu menjelajahi seluruh wilayah, mengumpulkan catatan, mendengar kesaksian, dan menyusun kembali kisah hidup Teyiz agar tidak hilang dalam kabut gosip dan fitnah.
Ia tahu bahwa hanya melalui dokumentasi yang jujur, cerita yang sesungguhnya bisa diteruskan.
Akhirnya, ketika tiba saatnya menempa Ancient Name pertamanya, Xilonen memilih kisah Teyiz.
Ia menyempurnakan setiap ukiran dengan presisi, memastikan setiap detail tidak terlewat.
Dengan itu, ia menjawab panggilan takdirnya, bukan karena ia ingin, tapi karena memang harus ada seseorang yang melestarikan kebenaran.