Iklan - Scroll untuk Melanjutkan
Baca artikel GGWP lainnya di IDN App
Benarkah Merah Putih: One for All bikin Panji Tengkorang Gagal di pasar? (Berbagai sumber)
Benarkah Merah Putih: One for All bikin Panji Tengkorang Gagal di pasar? (Berbagai sumber)

Intinya sih...

  • Promosi kurang gencar: Falcon Pictures melakukan promosi, namun kurang total. Momentum muncul terasa kurang maksimal. Promosi di berbagai platform juga tidak dimaksimalkan.

  • Tema cerita yang dewasa: Cerita balas dendam dengan adegan aksi berdarah-darah membatasi segmen penonton. Panji Tengkorak mencoba melawan stigma film animasi anak-anak dengan harga tinggi.

  • Bioskop masih belum percaya pada film animasi: Jumlah bioskop yang menayangkan sedikit, terutama di bioskop besar. Persaingan ketat di box office Indonesia juga menjadi tantangan.

Disclaimer: This summary was created using Artificial Intelligence (AI)

Ada anggapan di kalangan netizen yang menyebut, film Panji Tengkorak gagal karena kalah hype dari Merah Putih: One for All.

Bagaimana tidak, film animasi adaptasi komik karya Hans Jaladara ini belum mampu memenuhi ekspektasi penonton karena berbagai faktor yang menderanya, salah satunya diduga adalah film Merah Putih.

Merah Putih sempat menjadi sensasi dan dibicarakan di berbagai lini masyarakat. Mulai dari TV nasional hingga media sosial, tingkat perhatian seperti inilah yang tidak dimiliki oleh Panji Tengkorak.

Namun faktanya, film Merah Putih bukanlah faktor utama Panji Tengkorak gagal di pasaran. Apa alasannya?

1. Promosi kurang gencar

Suasana premiere Panji Tengkorak. (Tabloid Bintang)

Jelang peluncuran Panji Tengkorak, Falcon Pictures melakukan promosi untuk memperkenalkan film animasi ini.

Aktor-aktor kawakan tampil berperan di film ini mulai dari Denny Sumargo, Donny Damara, Cok Simbara, Pritt Timothy, Tanta Ginting, dan masih banyak lagi.

Bahkan untuk soundtracknya, Isyana Sarasvati dan Iwan Fals dipercaya menyanyikan cover "Bunga Terakhir" milik Bebi Romeo.

Dari sisi promosi, Panji Tengkorak sudah bisa dibilang cukup kuat dari sisi pondasinya. Hanya saja, kekurangan promosi Panji Tengkorak adalah "kurang total".

Momentum yang muncul terasa kurang maksimal. Trailer muncul tapi tidak ada follow up trailer selanjutnya. Para pemeran diumumkan, tapi tidak terasa adanya media tour.

Promosi di berbagai platform juga tidak dimaksimalkan. Entah itu TV, radio, podcast, hingga website berita dan media sosial belum dimanfaatkan sepenuhnya.

Karena itulah dari sisi hype, Merah Putih melampaui Panji Tengkorak karena mampu menciptakan perbincangan secara organik, dan membuat banyak orang penasaran.

2. Tema cerita yang dewasa

Panji Tengkorak memiliki visual dan cerita yang sulit dicerna anak-anak. (Akurat.co)

Panji Tengkorak mengangkat cerita balas dendam yang dibumbui adegan aksi berdarah-darah dan penuh dengan adegan kekerasan.

Selain itu, cerita Panji Tengkorak juga banyak mengangkat tema moralitas abu-abu yang jauh lebih kompleks daripada pertarungan antara baik dan jahat.

Hal ini secara efektif langsung membatasi segmen penonton Panji Tengkorak. Sejak awal, film animasi ini tidak cocok bagi anak-anak, baik dari sisi cerita maupun visualisasinya.

Bandingkan dengan film Jumbo yang mampu mencetak sejarah karena berhasil menjangkau audiens dengan rentang umur dan latar belakang lebar. Anak-anak dan orang dewasa bisa menonton Jumbo dengan nyaman.

Di Indonesia, stigma film animasi/kartun adalah film anak-anak masih melekat kuat. Panji Tengkorak mencoba melawan stigma tersebut dengan harga yang tinggi.

3. Bioskop masih belum percaya pada film animasi

Di Jakarta, XXI hanya menyediakan 5-6 studio untuk Panji Tengkorak. (Cinema XXI)

Alasan lainnya kenapa film Panji Tengkorak sepi ditonton adalah karena jumlah bioskop yang menayangkannya sedikit.

Di Jakarta saja, Panji Tengkorak hanya bisa ditonton di beberapa bioskop kecil di pinggir kota. Tidak ada penayangan Panji Tengkorak di bioskop besar.

Itu di Jakarta. Di kota lain, mungkin hanya ada satu-dua bioskop saja. Bahkan ada yang tidak kebagian Panji Tengkorak sama sekali.

Hal ini menjadi bukti lain bahwa bioskop Indonesia masih belum percaya penuh pada film animasi, khususnya film animasi lokal.

Dalam berbagai kasus yang ada, bioskop tidak memberikan jadwal yang panjang atau alokasi studio besar untuk film animasi, karena okupansinya yang rendah.

Jika Merah Putih: One for All saja hanya tayang di 5-6 bioskop di Jakarta dan hanya ditonton 5-6 orang per jadwalnya, Panji Tengkorak pun memiliki nasib yang sama.

4. Persaingan ketat di box office Indonesia

Meski sudah tayang 2 minggu, hype Demon Slayer belum kunjung turun. (ComicBook.com)

Panji Tengkorak juga harus menghadapi persaingan ketat di box office Indonesia, karena rilis bertepatan dengan beberapa film lokal dan internasional.

Di hari yang sama, 28 Agustus, Panji Tengkorak harus melawan Lebih Dari Selamanya, Siapa Dia, dan Pencarian Terakhir.

Leftover dari bulan yang sama, ada film Tinggal Meninggal, La Tahzan, Panggil Aku Ayah, Pamali: Tumbal, dan masih banyak lagi.

Untuk film luar sendiri, ada The Bad Guys 2, Freakier Friday, hingga Pretty Crazy yang menghiasi bioskop Indonesia.

Satu ancaman terbesar Panji Tengkorak sendiri adalah Demon Slayer: Infinity Castle Part 1. Ini adalah main event para pecinta animasi di bulan Agustus dengan kualitas grafis yang jauh, jauh di atas Panji Tengkorak.

Dengan harga tiket yang sama, film yang mana yang akan penonton awam pilih?

5. Pengaruh review Panji Tengkorak

Film Panji Tengkorak punya kekurangan yang membuat penonton enggan menyaksikannya. (CNN Indonesia)

Beberapa jurnalis dan influencer yang sudah menonton Panji Tengkorak lebih dulu juga berkontribusi pada sedikitnya jumlah penonton Panji Tengkorak.

Meskipun dari sisi cerita keseluruhan film ini sangat bagus, kita harus jujur kalau Panji Tengkorak belum memiliki kualitas yang bioskop-worthy.

Beberapa alur cerita terasa lambat, karakterisasi Panji lemah di awal film, animasi yang masih kaku/ala slideshow, mixing suara biasa, penghayatan karakter yang datar, hingga penempatan lagu yang questionable jadi poin kritik untuk Panji Tengkorak.

Sayangnya, penonton umum merasa poin-poin kekurangan tersebut tidak bisa mereka usahakan untuk cerna, sehingga banyak yang urung menonton Panji Tengkorak setelah membaca review.

6. Faktor demonstrasi

Suasana demonstrasi ojek online di depan Gedung DPR. (Liputan6)

Terakhir, penyebab besar dari minimnya jumlah penonton Panji Tengkorak adalah karena pengaruh demonstrasi yang berlangsung di berbagai daerah di Indonesia.

Serangkaian aksi demonstrasi sejak tanggal 25 Agustus 2025 terjadi di Jakarta dan kota-kota lainnya, menuntut penghapusan kesenjangan sosial antara rakyat dengan kaum elit.

Dengan terjadinya aksi demonstrasi dan kerusuhan di beberapa lokasi, membuat penonton takut untuk pergi ke luar rumah.

Bahkan jika lokasi mereka memungkinkan untuk pergi ke bioskop, menonton film menjadi prioritas terakhir mereka di tengah situasi yang tidak menentu.

Jadi bisa dibilang, minimnya penonton Panji Tengkorak berasal dari kejadian yang ada di luar kontrol Falcon Pictures.

7. Box office Panji Tengkorak jauh lebih baik dari Merah Putih

Jumlah penonton Panji tengkorak melampaui Merah Putih: One for All. (Layar.id)

Banyak orang yang menyalahkan film Merah Putih: One for All karena telah merebut hype Panji Tengkorak. Namun kenyataannya, ada atau tidak ada pun, Merah Putih tetap lebih inferior daripada Panji Tengkorak.

Dalam satu minggu pertamanya, alias seluruh masa penayangan Merah Putih, film itu hanya mampu mengumpulkan 2 ribu penonton saja.

Sementara Panji Tengkorak, hanya dalam 3 hari pertama saja sudah mendapatkan 16 ribu pentonton, bahkan dengan segala handicap yang diterima.

Memang, Panji Tengkorak diproduksi dengan budget yang jauh melebihi Merah Putih yang konon hanya didanai pisang goreng, kopi, dan model 3D hasil curian.

Tapi di playing field yang setara: jumlah studio sedikit di lokasi pinggiran kota dan dengan masa tayang yang kurang lebih sama, Panji Tengkorak tetaplah film yang paling unggul.

8. Penonton sudah pintar, Merah Putih tetap lebih inferior

Merah Putih tidak cukup kuat untuk menyaingi Panji Tengkorak. (CNN Indonesia)

Menyebut Panji Tengkorak gagal di bioskop karena Merah Putih: One for All, sama saja dengan melecehkan intelejensi penonton film Indonesia.

Pasalnya, penonton Indonesia sudah mampu memilih tontonan yang bagus untuk mereka nikmati, termasuk dari ranah animasi.

Merah Putih yang tayang lancar tanpa adanya force majeure, hanya ditonton 2 ribu penonton. Itu artinya, penonton awam memang sudah tidak tertarik menyaksikan film tersebut.

Bandingkan dengan Panji Tengkorak yang bahkan sialnya dihantam gelombang demonstrasi, berhasil mengumpulkan 16 ribu penonton.

Jadi jangan perlu takut film seperti Merah Putih bisa memukul balik pergerakan industri animasi lokal. Karena jauh sebelum ada gelombang boikot, penonton juga sudah yakin tidak akan menonton filmnya.

Yakinlah ke depannya, Merah Putih dan film-film animasi slop sejenisnya hanya akan menjadi catatan kaki insignifikan dalam sejarah animasi Indonesia, terbuang dalam waktu.

In Article GGWP_.png


Editorial Team