Psikolog Sarankan Atlet Esports Beri Contoh yang Baik Bagi Anak-Anak

Masih dari simposium interpretasi esports dalam wacana keolahragaan nasional, psikolog yang hadir menyarankan atlet esports untuk beri contoh yang baik bagi anak-anak.
Adapun hal tersebut diungkapkan oleh Ghea Amalia Arpandy, M.Psi. selaku narasumber dalam simposium esports yang menjadi rangkaian acara Hari Olahraga Nasional (HAORNAS) 2019.
Merunut dari kondisi yang sering ditangani oleh Ghea, anak-anak akan sangat mudah meniru hal yang dilakukan oleh atlet esports ataupun pro player yang diidolakan.

“Atlet esports atau pro player di sini dia sudah sebagai public figur. Dan itu terlihat. Anak-anak sekarang udah pegang gadget, dia lihat di Instagram, lihat di youtube, segala macam bagaimana perilakunya, dan itu bisa ditiru oleh anak-anak” kata Ghea.
“Misalnya adalah kata-kata yang terucap (oleh atlet). Anak-anak itu kan pintar meniru. Yang dia tahu adalah tokoh yang dia idolakan, sehingga itu jadi satu contoh buat yang buat dia adalah ‘ini keren kalau ngomong kayak gini’. Karena anak-anak dengar terus menerus, secara otomatis menjadi kebiasaan dan nantinya menjadi perilaku. Bisa jadi juga ke arah moral. Sekarang kan masalahnya ke sana” papar Ghea sembari memberi contoh.
Melihat kondisi yang berkembang tersebut, maka untuk ke depannya, cara atlet atau pro player bersikap, bertingkah laku, maupun berkata-kata, serta karakter atlet esports atau pro player sudah harus menjadi perhatian.

Selain itu, menurut Ghea, dengan melihat karakter dari atlet esports maupun pro player, nantinya kita bisa melihat bagaimana perkembangan dari atlet itu sendiri.
“Atlet punya nilai lebih ketika dia bisa memiliki karakter yang baik, dia akan menjadi sesuatu yang lebih buat orang lain. Tetap dia akan kelihatan kalau dia punya karakter baik, akhirnya cognitifnya kelihatan, pinter gak sih orangnya, cara bawa dirinya bagaimana.” Kata Ghea.
“Dari sisi psikologisnya, memang harus melihat penting karakter itu. Karena kalau enggak, semangat dari mana? Motivasinya muncul dari mana? Untuk bisa raih targetnya, menang. Kalau dia tidak punya jiwa yang kuat, tidak punya rasa percaya diri, akan jadi susah.” Lanjutnya.
Nah kembali menyangkut tentang anak dan kaitannya dengan pengaruh dari atlet esports atau proplayer, Ghea memberi contoh yang bisa membuat seorang anak menjadi ketergantungan terhadap game.
“Cita-cita anak-anak sekarang sudah banyak berubah. Mungkin sekarang masih ada yang ingin menjadi dokter, jadi astronot, jadi pilot, tapi sekarang ranahnya mulai ke gamer dan youtuber. Arahnya ke sana.” Ungkap Ghea
“Cuma main game terus (berlebih), bikin video, gitu-gitu aja, bisa mendapatkan duit. Itu bisa menjadi masalah” katanya lebih lanjut.

Namun mengenai kajian dari simposium interpretasi Esports dalam wacana keolahragaan nasional, dari sisi psikolog, Ghea mengatakan bisa saja esports menjadi olahraga, khususnya di Indonesia. Namun tentunya adalah penetapan regulasi dan edukasi.
“Sebenarnya enggak masalah esports dijadikan olahraga. Namun, bagaimana regulasi yang tepat, edukasi juga ke masyarakat, edukasi ke orangtua, edukasi ke anak-anaknya. Dan juga edukasi ke pro playernya, bagaimana mereka menjadi contoh yang baik buat anak-anaknya dia nanti, anak-anak lainnya.” Kata Ghea.
“Contohnya, banyak yang sekarang cuti kuliah demi menjadi proplayer. Ya, saya banyak menemukan (yang konsultasi), alasannya ‘dia aja cuti, akukan mau jadi pro player, jadi aku cuti aja.’ Jadi (di pikirannya) pendidikan bukan hal yang penting bagi dia, yang penting adalah latihan, akhirnya seperti itu” lanjutnya menjelaskan.
Nah, jadi menurut kalian, toxic harus dihilangin gak kalo statusnya udah jadi atlet esports atau pro player?