GGWP berbicara kepada seorang mantan karyawan Brandoville Studios yang meminta identitasnya disamarkan (seterusnya akan kita sebut sebagai B).
B bekerja di Brandoville sebagai concept artist yang terlibat di The Last of Us Part 1. Ia bekerja selama beberapa bulan di Brandoville, sebelum akhirnya mengundurkan diri.
Kepada GGWP, B membenarkan berbagai bentuk kekerasan dan pelecehan yang terjadi di Brandoville, termasuk kepada dirinya sendiri.
B menghabiskan total 5 jam untuk pulang-pergi dari kediamannya menuju kantor Brandoville. Dengan budaya crunching yang diterapkan oleh Brandoville, ia tidak mendapatkan waktu istirahat yang cukup.
Bagi B, pengalaman bekerja di Brandoville merupakan hal yang traumatis. Ia pernah harus melakukan crunching untuk melakukan revisi dari klien. Project manager Brandoville meng-gaslight B dengan mengatakan revisi tersebut adalah kesalahannya.
B menyebutkan setiap harinya bekerja di Brandoville, selalu ada kegaduhan yang dibuat oleh Cherry Lai, COO Brandoville Studios. Karyawan lain harus menerima celaan verbal untuk kesalahan yang kecil.
Pada satu hari, salah satu animator Brandoville berdebat dengan manajemen terkait jam kerjanya yang tidak masuk akal. Karena sudah buntu, ia memutuskan untuk minggat.
Manajemen lalu mengumpulkan para pegawai yang ada di kantor untuk mengorek informasi keberadaan animator yang minggat tersebut.
Para karyawan diancam dengan hukuman jika menyembunyikan informasi. Bahkan mereka juga diancam akan dilaporkan ke polisi.
Ancaman kepolisian inilah yang membuat para pegawai bungkam, karena Ken dan Cherry Lai memiliki kuasa dan uang yang banyak untuk mewujudkan hal itu.
Ada alasannya mengapa meskipun memiliki reputasi buruk, Brandoville Studios masih menjadi tempat kerja impian bagi para ilustrator dan animator.
Selain portfolio proyek yang prestisius, lokasi kerja dan fasilitas yang representatif membuat para calon pegawainya terpikat.
Selain itu, para pegawai baru juga mendapatkan waktu personal dengan Ken dan Cherry untuk membuat mereka nyaman. Personal time ini bisa berupa makan-makan di restoran mahal.
Namun setelah sang pegawai mengikat kontrak dengan Brandoville, topeng yang menyembunyikan kondisi kerja sebenarnya terungkap. B menyamakannya dengan mengikat kontrak dengan setan.
B menerima lebih banyak pelecehan verbal dari Cherry dan manajemen. Ia disebut lemah dan tidak tahu diri oleh Cherry, sementara B masih harus melakukan crunching dan menghabiskan 5 jam pulang-pergi sehingga ia kelelahan secara fisik dan mental.
Pegawai lain juga mendapatkan perlakuan sama. Rekan kerja B disebut oleh Cherry “terlalu kampungan” untuk menjadi concept artist, serta ejekan rasial lainnya.
Setelah menerima berbagai tekanan fisik serta mental, pada akhirnya B memutuskan untuk keluar dari Brandoville Studios.
Lantas dengan berbagai cerita serupa yang datang dari Brandoville Studios, kenapa studio ini masih dipercaya untuk terlibat dalam proyek game AAA? Rupanya jawabannya sudah ditemukan di tahun 2021.
Menurut B, Brandoville menawarkan waktu pengerjaan proyek yang lebih cepat dan lebih murah dari studio lain. Tentu saja ini menarik perhatian calon klien potensial mereka.
Hal ini tentunya berdampak buruk pada pegawai Brandoville yang harus mengerjakan proyek tersebut, apalagi karyawan junior yang mendapatkan timeline kerja tidak masuk akal.
Sebagai contoh, saat B menggarap proyek The Last of Us Part 1, ia ditargetkan untuk menyelesaikan 1-2 concept art dalam 1 hari saja.
B tidak diperbolehkan untuk pulang sebelum semua pekerjaan selesai. Bahkan, pekerjaan yang diselesaikan di luar jam kerja tidak dihitung sebagai lembur.
Kondisi ini juga diperparah dimana B dan pegawai lainnya dipaksa untuk mengikuti pelatihan software penunjang kerja dan juga menyelesaikan tugas dari pelatihan tersebut.
Beban pegawai juga bertambah saat Brandoville mengumumkan Brandoville Academy, dimana para pegawai harus menjadi tutor karena mereka tidak memiliki tenaga pengajar.
Menurut B, jika ada satu orang berhalangan dalam mengerjakan sebuah tugas, maka pegawai lain wajib mengambil alih dan menyelesaikannya.
Ini pun berkaitan dengan perkara mengundurkan diri, karena seseorang tidak boleh mundur sebelum bisa menemukan orang lain yang bisa menggantikan pekerjaannya.
Hal ini membuat pegawai enggan untuk keluar dari Brandoville. Pilihan mereka adalah menyelesaikan proyek atau mencari tumbal untuk menggantikannya.
B juga merasa tidak ada struktur atau hierarki yang jelas di dalam Brandoville. Concept artist tidak bisa mendapatkan feedback yang jelas karena tidak ada lead artist yang bisa menyelaraskan hasil kerja para artist.
Buruknya manajemen Brandoville ini selaras dengan pernyataan korban yang rilis di Canva, yang menyebutkan Cherry menjalankan studio ini layaknya sebuah MLM.
Lebih lanjut, pernyataan B ini juga membenarkan laporan dari People Make Games dari tahun 2021 lalu, yang menyebutkan studio-studio outsource menerapkan budaya crunching kepada pegawainya.
Dan ketika CEO Ken Lain dikonfrontir terkait dugaan tersebut, ia mengelaknya dan mengalihkan pembicaraan ke topik lain.
Sampai artikel ini ditulis, GGWP belum mendapatkan klarifikasi dari pihak Brandoville Studios.