Review Final Fantasy XVI: Sebuah Karya Seni Modern untuk Pemain Lama dan Baru

Final Fantasy terbaik kedua setelah FFIX! Itu adalah kesan yang saya dapatkan setelah menghabiskan lebih dari 15 jam bermain Final Fantasy XVI.
Gim ini adalah iterasi keenambelas dari Naoki Yoshida (Yoshi-P) di bawah payung Square Enix yang dirilis secara timed exclusive untuk console Playstation 5. Jadi kalau kamu belum memiliki Playstation 5, segeralah beli!
Sekilas informasi, Final Fantasy XVI memiliki genre action RPG (ARPG). Hal ini jelas sudah bisa kita expect mengingat Square Enix melakukan pendekatan seperti itu pada 2 gim Final Fantasy sebelumnya, Final Fantasy XV dan Final Fantasy VII: Remake.

Kombinasi genre ARPG ditambah dengan asuhan Yoshi-P yang merupakan otak di balik kesuksesan Final Fantasy XIV tentu membuat ekspektasi saya menjadi cukup tinggi terhadap gim ini.
Sebelum kamu membaca review Final Fantasy XVI ini, perlu diingat bahwa mungkin akan ada sedikit spoiler yang perlu saya beberkan untuk membantu penilaian.
Namun, saya akan berusaha untuk tidak memberikan major spoiler yang bisa menghilangkan element of surprise dalam permainanmu. Karena jujur, ceritanya sangat menarik untuk diikuti.
Alur Cerita

Jika dibandingkan dengan kakaknya, Final Fantasy XV, Final Fantasy XVI memiliki alur cerita yang jauh lebih dalam.
Clive Rosfield adalah protagonis utama dalam gim ini. Dia adalah anak sulung dari seorang archduke kerajaan Rosaria, bagian dari dataran besar di barat Valesthia.
Sebagai seorang anak tertua sekaligus Shield of the Phoenix, Clive mengemban misi untuk menjadi pelindung adiknya, Joshua, yang merupakan seorang Phoenix Dominant sekaligus pewaris tahta kerajaan Rosaria.
Dominant di sini adalah julukan bagi orang yang dianugerahi kekuatan Eikon. Baiklah, kalau kamu sedikit bingung, Eikon itu adalah julukan bagi summon di gim Final Fantasy XVI, seperti Ramuh, Ifrit, Shiva, Titan, dan Phoenix.

Seiring jalannya cerita, Clive pun terlibat ke dalam konflik antar politik kerajaan yang rumit.
Sebenarnya konflik kerajaan di Valesthia yang terjadi ini memiliki premis yang sederhana, yaitu perebutan kekuatan Mothercrystals yang secara geografis ada di setiap kerajaan.
Tidak hanya itu, konflik sosial juga diperlihatkan di Final Fantasy XVI, yaitu diskriminasi dan perbudakan yang terjadi kepada Bearers (orang yang terlahir dengan kekuatan magis tanpa harus menggunakan kristal).
Sedangkan mereka yang non-Bearers harus menggunakan kristal untuk bisa menggunakan magis, seperti mengeluarkan api atau angin. Sedangkan, kristal itu jumlahnya terbatas.

Perjalanan Clive untuk mencapai tujuannya (yang tentu tidak bisa saya jelaskan di sini) sangat menarik untuk diikuti. Cerita yang dinarasikan oleh Kazutoyo Maehiro sungguh membuat saya penasaran.
Kemunculan berbagai tokoh di awal membuat saya menebak-nebak, siapakah mereka? Ada andil apa mereka di gim ini? Apakah mereka baik, atau jahat? Perlahan-perlahan, seiring dengan jalannya cerita, misteri itupun terungkap.
Kisah Final Fantasy XVI disajikan secara runtut dan sangat mudah diikuti bahkan bagi penggemar baru sekalipun.

Salah satu fitur terbaik yang diperkenalkan oleh Square Enix di iterasi terbaru Final Fantasy ini adalah Active Time Lore, yang dapat kamu akses di cut scene.
Active Time Lore akan menjelaskan objek-objek penting yang bersinggungan atau disebutkan oleh para karakter di cut scene tersebut. Bagi saya yang sulit untuk mengingat nama, hal ini tentu membantu sekali.
Tidak hanya itu, kemunculan NPC bernama Harpocrates juga akan sangat membantumu menikmati seluruh lore yang terdapat di Final Fantasy XVI ini. Bingung dengan kerajaan mana yang saling berperang? Penasaran dengan tokoh yang baru saja kamu temui? Kunjungilah Harpocrates!
Grafis dan Audio

Berkat teknologi yang dihadirkan oleh Playstation 5, grafis gim Final Fantasy XVI baik pada cutscene atau gameplay begitu indah.
Mitsutoshi Gondai yang diboyong oleh Yoshi-P dari Final Fantasy XIV berhasil membentuk dunia yang “sangat Final Fantasy” dan memukau saya yang memang penyuka grafis.
Di awal-awal saja, saya sudah dibuat takjub dengan pertempuran kolosal antara Phoenix dan Eikon misterius.
Tidak lama berselang, Square Enix memberikan fan service dengan menampilkan pertempuran Titan dan Shiva di atas peperangan antara Iron Kingdom dan The Kingdom of Waloed.
Namun keindahan grafis gim ini bukan berarti tanpa celah. Menggunakan patch terbaru Final Fantasy XVI, saya masih merasakan adanya frame lag atau fps drop terutama di pertempuran besar yang melibatkan banyak aset. Bahkan hal ini sudah dapat kamu temui di babak-babak awal.

Kini kita beralih sedikit ke suara. Sebelumnya, saya sangat merekomendasikanmu untuk memainkan Final Fantasy XVI menggunakan headset.
Terlebih jika kamu memiliki Pulse 3D Headset dari Playstation, efek getaran yang muncul di setiap pertarungan atau cutscene akan sangat terasa, membuat pengalaman bermainmu lebih imersif.
Pada saat kamu menjalankan misi, alunan melodi indah ramuan Masayoshi Soken akan menemanimu menjelajah Valesthia. Sekadar informasi, Masayoshi Soken ini juga diboyong oleh Yoshi-P dari Final Fantasy XIV, dan merupakan composer veteran di Square Enix.
Dari sisi voice acting, sebagai seorang wibu, saya biasanya menggunakan voice over Jepang untuk gim buatan negeri sakura (seperti FFXVI ini) karena biasanya lebih “cocok” dengan desain karakternya serta penjiwaan seiyu yang tentu sudah tidak diragukan lagi.

Sayangnya, Final Fantasy XVI yang saya mainkan ini sepertinya lebih menganjurkan saya untuk bermain dengan voice acting bahasa Inggris, karena gerakan bibir para karakternya tidak sinkron dengan voice over bahasa Jepang.
Akan tetapi, secara mengejukan, saya masih sangat menikmati hampir seluruh cutscene yang disuguhkan menggunakan voice over bahasa Inggris.
Meskipun pengisi suara untuk karakter-karakter minor saya rasakan sedikit canggung, namun untuk karakter besar seperti Clive, Cid, dan Benedikta, saya rasa mereka telah memberikan hasil yang cukup bisa saya nikmati!
Gameplay

Impresi awal pertama saya memainkan gim ini, saya sempat merasa bahwa mekanik bertarung terasa sangat membosankan.
Bagaimana tidak, di chapter-chapter awal, saya hanya cukup menekan satu tombol saja (yaitu kotak) ditambah dua slot abilities untuk membantu mengalahkan musuh.
Hal tersebut tentu membuat saya sedikit kecewa, mengingat genre yang disajikan Square Enix adalah Action RPG, dan membandingkannya dengan gim ARPG hack and slash lain seperti Devil May Cry yang memiliki banyak variasi combo.
Ternyata, mekanik bertarung ini akan berevolusi mengikuti proses perkembangan Clive.
Setelah mungkin sekitar 25 persen cerita, kamu akan dikenalkan dengan sistem combo, kemampuan baru, dan dapat bereksperimen melakukan mix and match abilities menyesuaikan gaya bertarungmu.

Misalnya saja, preset saya dan teman saya berbeda. Ia lebih menyukai pendekatan serangan area, dibandingkan saya yang lebih suka dengan close combat.
Selain itu, Square Enix juga memberikan fleksibilitas untuk me-reset poin ability jika ingin mengubah strategimu dalam setiap pertarungan. Poin ability ini kamu dapatkan dengan dua cara, yaitu level up atau menyelesaikan quest.
Selain main quest, sudah pasti setiap RPG juga memiliki side quest. Mungkin kamu akan menganggap remeh side quest ini karena misinya yang sangat sepele, misalnya mengantarkan makanan atau mencari barang tertentu.

Tapi di setiap side quest yang kamu jalankan, di dalamnya mengandung pesan moral yang sangat kuat mengenai isu sosial yang terjadi di Final Fantasy XVI. Semakin jauh, side quest gim ini akan semakin memperlihatkan segregasi yang terjadi antara Bearers dan penduduk normal.
Jika diibaratkan, main quest lebih menekankan ke isu politik kerajaan, sedangkan side quest lebih memfokuskan ke isu sosial.
Selain quest, gim ini juga masih menyematkan fitur berburu monster seperti di Final Fantasy XV. Fitur ini menarik, karena terkadang monster yang harus diburu dirasa lebih kuat dari mini-boss yang terdapat di dalam gim.

Selain itu, mekanisme berburunya juga cukup menantang, karena monster buruanmu tidak akan ditandakan di map. Alias, kamu harus membaca petunjuk posternya dengan seksama tentang lokasi monsternya.
Secara keseluruhan dari sisi gameplay, bagian terbaik adalah ketika bertarung melawan boss di setiap chapter.
Meskipun akan dirasa sedikit kurang menantang karena adanya QTE (quick time event), namun kombinasi dari audio visual yang mengagumkan serta kemampuan bertarung Clive dengan segala ability-nya mampu menyuguhkan panggung yang spektakuler.
Kesimpulan

Melalui Final Fantasy XVI, saya masih melihat kalau Square Enix masih berpegang teguh dengan arahan di iterasi sebelumnya, yaitu sebuah gim Final Fantasy yang dapat dinikmati oleh pemain lama dan baru.
Final Fantasy XVI bukanlah gim untuk gamer yang menginginkan hasil instan. Berbeda dengan gim hack and slash pada umumnya yang sudah membuka seluruh “kartu”-nya di awal permainan, Final Fantasy XVI lebih memilih untuk mengajak kita menikmati sebuah seni modern secara perlahan dan sesuai waktunya.

Final Fantasy XVI adalah gim yang dieksekusi dengan sangat matang dari segala sisi, meskipun terdapat sedikit kendala teknis, tapi hal itu tidaklah berarti jika dibandingkan dengan segunung hal-hal keren yang menantimu di sini.
Clive ada kita, kita adalah Clive. Gim ini mampu menarik saya untuk turut bersimpati dengan misi yang diemban oleh sang tokoh utama, dan juga karakter di sekelilingnya. Pengalaman kita bermain pun juga turut berkembang seiring dengan evolusi Clive.