- Mengapa video game sering dikaitkan dengan kekerasan?
Karena banyak video game modern menampilkan adegan kekerasan secara realistis dan vivid, seperti dalam Mortal Kombat atau Grand Theft Auto. Hal ini memicu kekhawatiran bahwa game bisa memicu perilaku agresif di dunia nyata. - Apakah ada bukti ilmiah bahwa video game menyebabkan kekerasan?
Belum ada bukti yang menyatakan bahwa video game secara langsung menyebabkan kekerasan. Beberapa studi memang menemukan korelasi antara game kekerasan dan perilaku agresif, tetapi korelasi tidak berarti kausalitas. - Jika bukan video game, apa penyebab utama kekerasan pada anak dan remaja?
Penelitian menunjukkan bahwa bullying adalah faktor yang lebih signifikan. Data dari PISA 2018 (UNICEF) menyebutkan bahwa 41% siswa Indonesia mengalami bullying beberapa kali dalam sebulan. - Apa dampak bullying terhadap kesehatan mental anak?
Menurut The Lancet Psychiatry (2015), anak korban bullying 5 kali lebih berisiko mengalami kecemasan dan 2 kali lebih berisiko mengalami depresi atau self-harm. - Apakah video game bisa berdampak positif?
Ya. Bagi sebagian anak, video game menjadi safe space untuk melarikan diri dari tekanan sosial dan emosional akibat bullying. Game bisa menjadi sarana pelarian sementara dari rasa sakit dan kesedihan. - Apa solusi untuk mengurangi kekerasan di kalangan pelajar?
Beberapa langkah yang disarankan adalah perbaikan sistem pendidikan, peningkatan peran guru Bimbingan Konseling (BK), pendekatan guru yang lebih menyeluruh dan tidak menghakimi, serta penanaman nilai empati oleh guru dan orang tua.
Video Game Tak Sebabkan Kekerasan, Justru Bullying Penyebabnya

- Video game tidak menjadi penyebab utama kekerasan
- Riset menunjukkan korelasi yang berbeda antara video game dan perilaku agresif
- Bullying menjadi penyebab utama aksi kekerasan, perlu solusi di sekolah dan masyarakat
Seiring berkembangnya video game, makin ramai pula seruan yang mengarah kepada aksi boikot video game sebagai penyebab aksi kekerasan.
Game di era modern memberikan kebebasan bagi pemain untuk melakukan apapun dalam batasan video game bersangkutan.
Dengan semakin canggihnya teknologi di balik video game, permainan semakin canggih, pintar, dan juga realistis.
Hal ini juga berujung pada visual yang semakin nyata, dan dapat menunjukkan adegan kekerasan secara vivid.
Mulai dari Mortal Kombat hingga Grand Theft Auto, ujaran untuk mencekal video game akibat kasus kekerasan terus mengemuka.
Meskipun kita tidak menampik adanya kasus kekerasan dan kematian akibat video game, benarkah game menjadi penyebab utamanya?
Mengutip hasil temuan dari IDN Times, berikut adalah pembasan apakah video game merupakan penyebab dari aksi kekerasan.
Perdebatan tentang dampak video game

Berbagai macam riset dan penelitian dilakukan untuk mencari tahu efek video game terhadap otak manusia. Hasil yang disajikan pun beragam, baik itu positif maupun negatif.
Pada tahun 2015, Task Force on Violent Media dari American Psychological Association (APA) merilis laporan berisi peninjauan mereka terhadap 31 studi yang meneliti dampak video game sejak tahun 2009.
APA menyebutkan, ada keterkaitan antara video game yang mengandung kekerasan dengan peningkatan perilaku agresif serta berkurangnya rasa empati.
Namun, hubungan antara kedua hal itu bersifat korelasional sehingga tak bisa disimpulkan bahwa video game adalah penyebabnya.
Hasil laporan tersebut bertolak belakang dengan penelitian Andrew Przybylski dan Netta Weinstein dari University of Oxford pada tahun 2019. Laporan mereka menunjukkan tak ada korelasi antara durasi bermain game kekerasan dengan perilaku agresif.
Begitu pula dengan riset Juveriya M. Mistry dan Vidyadayini Shetty pada 2020 dalam International Journal of Creative Research Thoughts (IJCRT). Mereka menemukan tak ada perbedaan signifikan antara skor agresivitas kelompok gamer yang bermain game kekerasan dengan yang tidak.
Bullying sebabkan aksi kekerasan

Jika video game tidak terbukti menyebabkan tindakan kekerasan, apa yang jadi penyebabnya? Jawaban singkatnya adalah bullying.
Laporan Programme for International Student Assessment (PISA) 2018 yang dikompilasi UNICEF pada tahun 2020 menyebutkan, 41% siswa Indonesia mengaku pernah mengalami tindakan bullying beberapa kali dalam sebulan, baik secara verbal hingga fisik.
Bahkan, kemungkinan besar angka sebenarnya lebih besar karena korban bullying kerap kali diam dan enggan melaporkan kejadian yang mereka alami.
Penelitian lain dari The Lancet Psychiatry pada tahun 2015, menunjukkan bahwa anak-anak korban bullying memiliki risiko 5 kali lebih tinggi terpapar anxiety, dan 2 kali lebih tinggi terdampak depresi atau self-harm, dibandingkan anak-anak yang mengali kekerasan dalam rumah tangga.
Justru, anak-anak korban bullying menemukan safe space mereka dalam video game. Di dalam game, mereka bisa melupakan kesedihan dan rasa sakit mereka meskipun hanya sesaat.
Apa solusinya?

Setelah mengetahui bnahwa bullying menjadi penyebab kekerasan, apa solusi yang bisa kita jalani untuk memperbaikinya?
Pertama, sistem pendidikan di sekolah harus diperbaiki. Peran guru BK harus semakin diefisiensikan, karena menurut laporan PSKP Kemendikdasmen tahun 2022, tidak semua sekolah memiliki guru BK.
Bahkan jika ada pun, jumlahnya tidak ideal. 33 ribu guru BK melayani 18,8 juta siswa, artinya 1 guru memegang 570 siswa. Idealnya menurut The American School Counselor Association, satu guru memegang 250 siswa.
Guru di sekolah juga harus lebih menyeluruh dalam menghadapi siswa, dan tidak mengandalkan penghakiman satu sisi. Contohnya menganggap siswa yang terlihat pasif dan pendiam sebagai siswa malas.
Last but not least, seluruh lini masyarakat, termasuk guru dan orang tua, harus mampu menanamkan sifat empati untuk mengurangi tindakan bullying.
Apabila seluruh pihak mampu mendalami latar psikologis dengan tepat, tidak akan ada video game yang dijadikan kambing hitam di balik aksi kekerasan.
FAQ



















