10 Final Boss Game Termudah untuk Dikalahkan

Rodrigo Borgia seharusnya jadi lawan yang menegangkan. Sebagai Paus sekaligus pemimpin Ordo Templar, ia bertanggung jawab atas kematian keluarga Ezio Auditore. Pertarungan klimaks ini diawali dengan pembunuhan penuh gaya khas Assassin’s Creed, lalu bergeser menjadi pertempuran biasa. Rodrigo memakai Apple of Eden, tapi Ezio bisa dengan mudah mengimbanginya.

Pada akhirnya, pertarungan berakhir dengan adu tinju yang sangat antiklimaks. Dengan semua hype dan konspirasi besar yang dibangun sepanjang game, duel terakhir ini lebih terasa seperti formalitas ketimbang pertempuran pamungkas.

Sebagai naga legendaris yang digadang-gadang bisa mengakhiri dunia, Alduin seharusnya menjadi final boss paling epik. Namun, kenyataannya justru mengecewakan. Alduin tidak jauh berbeda dengan naga purba lain yang sudah sering ditemui pemain sebelumnya.

Serangannya repetitif dan mudah diprediksi. Bahkan, keberadaan tiga sekutu legendaris membuat pertarungan terasa tidak menantang sama sekali. Hype tentang World-Eater runtuh begitu pemain menyadari bahwa melawan Alduin hampir sama mudahnya seperti melawan naga biasa.

Setelah pertempuran ikonik melawan Vaas, pemain berharap final boss Far Cry 3 bisa lebih menegangkan. Sayangnya, Hoyt justru terasa hambar. Pertarungan terakhir melawan bos kartel ini berbentuk quick-time event sederhana berupa duel pisau.

Tidak ada strategi, tidak ada variasi gameplay khas Far Cry seperti stealth atau eksplorasi. Semua hanya menekan tombol sesuai instruksi layar. Sebagai klimaks dari perjalanan Jason Brody, Hoyt gagal meninggalkan kesan mendalam. Banyak pemain bahkan menganggap seharusnya Vaas yang menjadi final boss sejati.

Di sepanjang seri Halo, pemain menghadapi alien tangguh, Prophet, hingga Flood yang menakutkan. Namun, final boss di Halo 3 justru melawan 343 Guilty Spark, sebuah robot kecil yang sebelumnya hanya jadi karakter pendukung.

Pertarungan pun terlalu sederhana, cukup menghindari satu serangan lalu membalas dengan Spartan Laser. Tidak ada variasi strategi atau intensitas tinggi yang biasanya dimiliki pertempuran klimaks. Bagi banyak fans, ini adalah salah satu akhir paling mengecewakan dalam sejarah game FPS.

Borderlands membangun misteri besar tentang Vault, membuat pemain penasaran dengan apa yang ada di dalamnya. Sayangnya, yang muncul adalah The Destroyer, monster alien raksasa yang terlihat menakutkan tapi sangat mudah dikalahkan.

Serangannya minim variasi, bahkan bisa digagalkan hanya dengan menembaki tentakelnya. Pada akhirnya, The Destroyer lebih terasa seperti boss tanpa ancaman nyata. Sebagai penutup game penuh aksi dan humor gila, pertarungan ini jelas tidak sesuai ekspektasi para pemain.

Sebagai bos rahasia dalam ending Childhood’s Beginning, Moon Presence diharapkan jadi tantangan mematikan. Namun kenyataannya, ia termasuk final boss termudah di Bloodborne. Serangan dasarnya mudah dihindari, damage-nya relatif kecil, bahkan jurus pamungkasnya tidak bisa membunuh pemain.

Pertarungan ini jelas dibuat lebih mudah karena datang setelah duel melelahkan melawan Gehrman. Walau desainnya menyeramkan dan penuh makna lore, Moon Presence gagal memberi kesan sebagai ancaman terakhir.

Saren dibangun sebagai antagonis utama sejak awal Mass Effect. Ia karismatik, berbahaya, dan punya hubungan erat dengan Reapers. Namun, ketika tiba di pertarungan terakhir, semuanya terasa basi. Gameplay tidak berbeda dari baku tembak biasa, tanpa strategi atau mekanik baru.

Bahkan fase keduanya, saat tubuhnya dipermainkan Sovereign, hanya terasa seperti musuh acak dengan HP lebih tebal. Sebagai lawan terakhir yang menentukan nasib galaksi, Saren berakhir terlalu mudah dikalahkan dan mengecewakan.

Deathstroke adalah salah satu lawan paling populer di Arkham Origins, dengan pertarungan seru penuh strategi. Sayangnya, di Arkham Knight, kembalinya Deathstroke sebagai final boss justru mengecewakan.

Alih-alih pertarungan tangan kosong yang epik, pemain malah dipaksa menghadapi pertempuran tank biasa, identik dengan duel melawan Arkham Knight. Semua buildup hancur saat Deathstroke akhirnya dikalahkan hanya dengan satu pukulan. Untuk karakter sekeren dia, penyelesaiannya terasa terlalu murahan.

Setelah ratusan jam petualangan di Hyrule, pemain akhirnya berhadapan dengan Dark Beast Ganon. Namun, alih-alih pertempuran menegangkan, yang muncul adalah bos raksasa pasif dengan serangan minim variasi.

Pemain hanya perlu menembak titik lemah berulang kali sambil menunggangi kuda. Walaupun secara visual megah, dari sisi gameplay hampir tidak ada tantangan. Sebagai klimaks dari salah satu game Zelda terbaik, pertarungan ini jadi salah satu akhir paling antiklimaks di franchise.

Dikenal sebagai game penuh bos brutal, Demon’s Souls mengejutkan pemain dengan final boss yang justru menyedihkan. Setelah melawan imitasi Allant yang kuat, pemain menemukan versi aslinya hanyalah makhluk lemah dan terdegradasi.

Ia hanya bisa merangkak dan menyerang dengan lamban, membuatnya sangat mudah dibunuh. Dari sisi naratif, ini brilian karena menunjukkan kehancuran akibat ambisi berlebihan. Namun, dari sisi gameplay, King Allant adalah salah satu final boss paling mudah dan anti-klimaks dalam sejarah game.