Salah satu artikel yang dipublikasikan oleh tim dokter yang berbasis di Chicago dalam jurnal Movement Disorders memiliki judul “TikTok Tics: Sebuah Pandemi di Dalam Pandemi”.
Kecemasan (anxiety) dan depresi akibat pandemi covid-19 diperkirakan telah berkontribusi pada meningkatnya tren sindrom tourette pada remaja. Stres memang bisa mempengaruhi kondisi fisik penderitanya.
Meski begitu, hal ini diperkirakan juga berasal dari banyaknya influencer di TikTok yang mengalami sindrom tourette ini. Konten-konten yang memiliki tagar #tourettes dan #tourettesyndrome di TikTok sudah mendapat lebih dari 6,2 miliar views.
“Beberapa anak menunjukkan ponsel mereka dan memperlihatkan pada saya TikTok mereka, dan itu penuh dengan Tourette sedang memasak dan challange alphabet,” ujar Dr. Mariam Hull dari Texas Children yang ikut menulis “Tics dan Tiktok: Tics Fungsional Menyebar Lewat Media Sosial”.
“Ada beberapa anak yang menonton sosial media dan kemudian mengalami tics dan beberapa yang tidak mengakses sosial media dan tetap mengalami tics,” ujar Dr. Joseph McGuire dari Johns Hopkins.
Beberapa dokter bahkan mengatakan beberapa influencer TikTok yang memiliki sindrom tourette tidak terlihat benar-benar mengidap sindrom tersebut. Apalagi kebanyakan dari mereka adalah perempuan. padahal kelainan ini diketahui lebih banyak mempengaruhi laki-laki.
Meski begitu, Dr Gilbert mengatakan pasiennya yang datang benar-benar menunjukkan gejala itu dan menampilkan adanya gangguan fungsi saraf, meski secara teknis bukan sindrom tourette.
Terapi kognitif bisa dilakukan pada pasien untuk menghilangkan gejala tersebut, termasuk mengurangi konsumsi TikTok.
Juru bicara dari TikTok mengatakan pada Wall Street Journal bahwa keamanan pengguna adalah prioritas mereka. Mereka juga akan berkonsultasi pada para ahli untuk mendalami masalah ini.
Sumber: New York Post