Ekslusif: Opini Richard Permana Terkait Regenerasi di Esports

Richard Permana menyampaikan opininya tekait regenerasi atlet esports Indonesia yang menurut dia juga melibatkan berbagai pihak, selain dari pribadi dan skill atlet muda.
Dalam interview yang dilangsungkan setelah acara pelepasan atlet PUBG MOBILE Indonesia yang akan mengikuti PMSL, Richard mengutarakan opininya berdasarkan pengalaman dia sebagai mantan atlet esports dan juga ceo tim esports, serta saat ini sebagai wakabid bidang atlet dan wasit di PBESI.
Regenerasi tidak lepas dari yang namanya usia seorang atlet untuk terjun ke skena profesional. Nah dalam kaitannya dengan usia, saat ini belum ada batasan usia minimum yang berlaku secara general.

Tiap-tiap turnamen bisa menetapkan usia minimum dari peserta, seperti yang dilakukan oleh SEA Games, dan juga Asian Games.
“Batasan usia yang pasti menurut saya pribadi ya, saya sih belum pernah melihat nih ada satu aturan baku (yang universal – redaksi). Tapi kalau kita mengacu pada SEA Games atau Asian Games, tentunya ketika kita mau register atlet ada batasan usia (minimum). Misalkan di satu titik 18 (tahun), terus kemarin turun ke 16, misalnya, contoh.” tutur Richard.
Namun yang jadi sorotan bagi Richard bukan hanya usia, melainkan pada support sistem ketika seorang atlet muda berbakat hendak terjun ke skena profesional.
Menurut Richard, peran skill yang jago dari gamer muda, harus didukung juga dengan ijin orang tua, dan tentunya dari factor siapa yang nantinya akan membimbing pemain muda tersebut, dalam artian time sports maupun sosok di tim.
“Jadi kalau kita bicara regenerasi, saya pikir usia berapapun mereka bisa langsung kelihatan sih, jago enggaknya, sudah boleh ditarik atau belum ke level club atas perizinan orang tuanya, (dan) siapa leader yang bisa menaungi mereka.”

Richard berpendapat, sosok pembimbing atau leader yang kurang tepat bisa menghambat potensi pemain berkembang, dan tentunya akan menghambat regenerasi atlet esports.
“Sebab sayang juga kalau misalnya kita regenerasi, ketemu nih satu bocah ajaib misalnya, dari Sukabumi misalnya, tapi dia jatuh ke tangan yang kurang tepat. Sehingga regenerasi itu lebih lambat daripada yang kita harapkan.”
“Tapi kalau dia jatuh ke komunitas tim yang teat, terus ada sosok leader yang jago untuk nge-build player, regenerasinya bisa langsung jadi. Maksudnya, hasil produk atlet usia dini ini bisa kelihatan di level pro. Menurut saya seperti itu.”
Richard memberi contoh regenerasi di PUBGM yang menurut dia sudah oke hingga saat ini yang terbukti dengan adanya perbedaan atlet di dua gelaran Sea Games (Vietnam dan Kamboja).
“Regenerasi PUBGM cukup kencang sih, oke. Karena dari SEA Games kemarin ke SEA Games ini aja atletnya beda-beda terus.” kata Richard.
Selain regenerasi atlet, ada juga sedikit opini dari Richard terkait tujuan berikutnya dari seorang atlet esports di skena kompetitif.

Menurut Richard, seorang mantan atlet dengan pemahaman terhadap skena kompetisi serta in game, bisa membuat mantan atlet menjadi seorang coach.
Richard memberi contoh Svavel yang saat ini menjadi pelatih, setelah sebelumnya adalah pemain yang juga memperkuat timnas Indonesia di Sea Games.
“Tadi saya juga melihat svavel sudah berubah role jadi pelatih, itu oke sih. Dalam artian Svavel itu kuat di berbagai hal, tapi juga beliau ada satu titik kelemahan yang mungkin sudah tidak bisa dipungkiri lagi misalnya.” kata Richard memberi contoh.
Jadi ketika bicara regenerasi di esports, tujuan pertama tentunya adalah bagaimana mendapatkan atlet-atlet baru yang memiliki kemampuan mumpuni. Tetapi di sisi lain, pemain-pemain senior juga bisa “ber-regenerasi” menjadi sosok penting lain di esports seperti pelatih, staf, maupun potensi lainnya.