Baca artikel GGWP lainnya di IDN App
For
You

Wawancara Coffee Talk Episode 2: Pengaruh Komik Indonesia dan Melampaui Ekspektasi Game Pertama

Setelah game kedua Coffee Talk rilis, apakah kamu penasaran dengan fakta menarik di balik produksinya? Kamu akan mengetahuinya lewat wawancara Coffee Talk Episode 2: Hibiscus & Butterfly berikut ini.

Game simulasi barista/visual novel ini kembali dengan karakter baru yang bisa diajak berinteraksi, serta sederet menu minuman baru dari dua bahan unik dan ngetren.

Seperti apa kisah menarik selama produksinya? GGWP.ID duduk bersama lead artist dan art director Coffee Talk Episode 2, Dio Mahesa; serta lead writer dan narrative designer Junkipatchi, untuk membahas game super chill asal Indonesia yang mendunia ini.

Wawancara Coffee Talk Episode 2 bersama Dio Mahesa dan Junkipatchi

1. Sambutan hangat dan ekspektasi untuk Coffee Talk Episode 2

Coffee Talk Episode 2 menjadi game standalone kedua di seri ini. (Steam)

Boleh perkenalkan diri dulu, tentang siapa kalian dan seperti apa experience kalian sebelum bergabung dengan proyek Coffee Talk Episode 2?

Dio: Gua Dio Mahesa, sudah di Toge Productions sejak 2012. Udah ngerjain banyak game-nya Toge Productions dari Infectonator: Survivors, terus Infectonator 3. Habis itu baru Coffee Talk.

Di Coffee Talk sendiri gua mulai menggarap proyeknya sejak tahun 2018 sebagai lead artist. Lalu di Episode 2 gua jadi lead artist sekaligus art director.

Junki: Aku Junkipatchi, aku di sini sebagai lead writer dan narrative designer untuk Coffee Talk Episode 2.

Ini game pertama aku karena sebelumnya aku berkecimpung di dunia komik. Jadi ini pengalaman pertama aku menulis untuk game dan menjadi narrative designer. Tim writing aku terdiri dari Aulia dan Anna Winterstein.

Selamat untuk perilisan Coffee Talk Episode 2! Bagaimana rasanya setelah melihat respon dari para gamer?

Dio: Senang sih, karena responnya bagus. Game ini adalah sekuel dari episode 1. Ada sedikit kecemasan karena saat bikin sekuel ada ekspektasi dari pemain untuk melihat apakah game-nya berisi konten yang sama atau ada peningkatan yang lebih baik. Ada perasaan seperti, “Ini bisa diterima nggak ya?”

Dari Coffee Talk Episode 1 dan 2, penulisnya beda juga. Ada banyak anxiety selama pengerjaan, tapi melihat responnya kami lega.

Junki: Aku juga sama karena ini sekuel dan aku ngelanjutin penulisan dari almarhum Fahmi. Jadi aku ada rasa khawatir, apalagi ada banyak fans yang suka Episode 1.

Jadi saat responnya bagus, aku lega karena aku nggak mau ngecewain fans game yang pertama. So far kami cukup puas.

2. Yang baru di game kedua Coffee Talk

Minuman berbahan hibiscus (rosella) jadi salah satu menu baru yang bisa disajikan kepada pelanggan. (Steam)

Apa yang mendasari keputusan perilisan Coffee Talk Episode 2 sebagai game standalone, dan kenapa game ini tidak dijadikan DLC untuk game pertama?

Dio: Waktu itu sebenarnya setelah kami rilis Coffee Talk Episode 1, kami melihat respon yang positif dari gamer.

Mereka mostly minta lebih banyak cerita baru dan kelanjutannya. Mereka pingin mengenal karakternya lebih dalam dari segi background dan story.

Tadinya kami merencanakan paid DLC. Tapi sejalan dengan pengembangan DLC tadi, kami merasa kontennya semakin besar. Dari sisi story bisa lebih dalam, dan branching-nya bisa lebih luas.

Jadinya kami dari tim memutuskan untuk menjadikannya game standalone, karena kontennya udah hampir sebanyak Coffee Talk Episode 1.

Jadinya kami menambah story, konten art, dan musik yang jauh lebih banyak. Di situlah dimana kami memutuskan lebih baik jadi game standalone.

Game ini menampilkan dua bahan minuman baru, hibiscus dan blue pea. Apa yang jadi alasan pemilihan kedua bahan itu dan bagaimana keduanya bersinergi dengan bahan minuman yang sudah ada?

Junki: Kayaknya yang milih itu dari Toge ya. Waktu itu aku masih jadi hired writer.

Pemilihannya bukan dari sisi cerita namun dari warnanya. Karena hibiscus itu merah dan blue pea itu biru. Jadi kalau secara visual, kelihatan lebih striking dan indah.

Dio: Karena kami butuh konten baru dan harus ada diferensiasi antara Coffee Talk Episode 1 dan 2, jadi diputuskan untuk menambah bahan minuman baru.

“Apa lagi bahan yang bisa dimasukkan ke game?” Waktu itu minuman teh bunga telang (blue pea) lagi lumayan in di kafe-kafe. Ya udah, kita masukin teh rosella (hibiscus) dan teh bunga telang aja.

Dengan nambahin minuman itu, kami juga menambah variasi minuman yang bisa dibikin. Terus dari segi latte art kami juga nggak mau warnanya cuma cokelat atau hijau.

Di Coffee Talk Episode 1, latte art-nya rata-rata berwarna cokelat. Jadi kalau ada yang warnanya biru dan merah, jadi lebih cantik.

3. Sumbangsih dari industri komik Indonesia

Satyr Lucas dan banshee Riona merupakan dua karakter baru di game ini. (Steam)

Bisa tolong jelaskan seperti apa karakter baru yang muncul di Episode 2, baik dari konsep dan penokohan mereka, serta bagaimana interaksi mereka akan mempengaruhi karakter Coffee Talk yang sebelumnya sudah dikenalkan?

Junki: Untuk Lucas dan Riona, mereka dibuat sama KOSMIK dimana mereka menciptakan konsep awal karakternya.

Dulu saat masih direncanakan sebagai DLC, kami ingin mencari karakter yang bisa menambah roster yang sudah ada tanpa harus terlihat overpowering. Bagaimanapun juga, Coffee Talk adalah chill game.

Kemudian setelah digogok berkali-kali, karena kalau nggak terlalu kalem atau terlalu annoying, akhirnya lahir Lucas yang influencer dan Riona yang sifatnya lebih somber.

Tadinya sifat mereka sangat kontras, yang satu annoying satu lagi bitchy setelah diturunin dan dipas-pasin.

Tapi kami nggak bisa terlalu kalem karena mereka tetap harus memberikan kontras yang baru dari roster karakter sebelumnya.

Kami bisa saja bikin karakter yang sarkastik lagi, tapi nanti clash sama Hyde. Atau kami bikin karakter yang agak shy tapi nanti clash sama Aqua.

Karakter manusia itu ada banyak banget, jadi kami cari tipe yang belum ada dan itu membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mendapatkan formula yang cocok jika disandingkan dengan karakter sebelumnya.

Dio: Tadinya concept art-nya awalnya dibikin sama KOSMIK, karena waktu itu kami kerja sama dengan mereka dari segi storywriting. Dari proposal KOSMIK juga sudah termasuk desain karakter dan background.

Lalu dari gua sendiri, gua kembangin Riona rambutnya putih lurus karena dia banshee. Akhirnya kami rembukan, dan kayaknya kalau cuma putih-putih doang kurang menarik secara siluet.

Riona juga sebenarnya seseorang yang ingin perform dan dilihat, tapi dia di-misunderstood oleh masyarakat.

Jadi kita coba warna rambutnya dibikin warna biru gradasi. Banyak dari konsep yang dikasih KOSMIK kita coba gali lagi dan pas-pasin dengan color tone karakter lain.

Sehingga nanti, secara karakteristik dari story dapet, dari visual siluet dan kohesi dengan karakter lain juga dapet.

Junki: Aku mau menambahkan, dalam segi desain kenapa Lucas jadi satyr, dulu kami lihat YouTuber seperti Logan Paul atau Jake Paul itu rada slengean. Jadi makhluk yang cocok untuk melambangkan hal itu adalah satyr.

Sementara itu banshee kan tidak disukai dan punya stereotipe jelek. Jadi cara Riona menjadi seorang soprano itu cocok banget, tantangannya pas. Banshee jadi soprano itu agak susah.

Seperti apa keterlibatan KOSMIK yang dikenal sebagai publishing komik Indonesia di dalam game Coffee Talk Episode 2?

Junki: KOSMIK awalnya terlibat dalam proses konsep awal.

Ada beberapa ide dari tim KOSMIK yang mengurus Coffee Talk, sekitar 3-4 karakter. Dari rough draft awal, konsep karakter awal, lalu cerita dirombak total.

Draft konsep awal-nya digarap oleh komikus Dewe (Flick Royale, Code Helix) dan Kathrinna Rakhmavika (Mera Puti dan Emas, Gastronomale).

Aku dulu di KOSMIK bikin cerita sebanyak separuh isi game, lalu aku kerjakan sisanya setelah masuk ke Toge.

4. Fahmitsu, Xbox, dan harapan untuk para gamer

Almarhum Fahmitsu meletakkan batu pondasi untuk seri Coffee Talk. (Steam)

Saat menggarap Episode 2, apakah ada semacam kesulitan dalam meneruskan apa yang sudah diselesaikan oleh Fahmitsu di game Coffee Talk sebelumnya?

Junki: Ya, lebih ke ekspektasi yang sangat besar karena Coffee Talk sangat banyak fansnya. Banyak yang menganggap game-nya cozy dan healing game.

Seperti kata Dio, sekuel itu susah untuk memuaskan gamer. Gampang gagal lah. Apalagi game yang healing seperti ini.

Waktu itu juga nggak ada story bible (informasi tentang dunia dan karakter di dalam sebuah cerita). Jadi aku harus mainin game-nya 15 kali untuk dapet vibe dan karakter yang konsisten.

Aku juga sempat mau konsul ke mendiang Fahmi, tapi ya waktu itu sudah nggak keburu.

Ini adalah kali kedua Coffee Talk rilis di platform Xbox Game Pass. Apa sih yang membuat kalian tertarik untuk bekerja sama dengan Xbox?

Dio: Dari gua sendiri sebenarnya gua bukan orang yang tepat untuk menjawab ini. Tapi berdasarkan diskusi di dalam tim, kami senang banget karena bisa masuk Xbox Game Pass.

Dari gua pribadi, melihat Xbox Game Pass itu isinya game AAA. Jadi kebanggaan tersendiri ada game indie Indonesia yang bisa masuk ke Xbox Game Pass.

Itu juga sangat meng-amplify dan membantu dari segi publikasi, terutama kepada gamer Xbox, sehingga memperkenalkan game kami ke pasar yang baru.

Lewat Coffee Talk Episode 2, apa pesan atau harapan yang ingin kalian sampaikan kepada para gamer, baik di Indonesia maupun di seluruh dunia?

Junki: Ini pertanyaan yang paling sulit buat aku, hahaha. Mungkin simpelnya, tolong mainin semuanya sampai selesai.

Game ini jadi semacam surat dari kami untuk mendiang Fahmi. Kalau bisa, dimainkan aja dan semoga sudut yang cozy dan nyaman ini bisa memberikan healing bagi para gamer seperti game yang pertama.

Bagi yang sudah ngikut dari Coffee Talk Episode 1, semoga bisa enjoy main game-nya sampai tamat dan semoga game ini bisa memberikan rasa nyaman untuk yang memainkannya.

Dio: Mengingat konsep awalnya bareng Fahmi, dia pengen bikin game dimana lu duduk di ruangan sambil dengerin musik lo-fi, minum green tea latte anget sambil nontonin hujan di luar.

Ini game yang sangat chill, relaxing, dimana lu dengerin cerita customer. Pokoknya game ini membawa chill, relaxing vibe.

Ternyata setelah Coffee Talk Episode 1 keluar, orang-orang banyak yang menganggap game ini bisa mengurangi stres dan anxiety mereka.

Kalau main Coffee Talk mereka bisa mengobati kerinduan duduk-duduk di kafe karena game ini rilis sebelum pandemi.

Harapan kami sebenarnya untuk Episode 2 ini, semoga bisa membawa hal yang sama dengan yang pernah kami bawakan di Coffee Talk Episode 1: menjadi chill game yang healing dan bisa memberikan rasa rileks dan nyaman.

Coffee Talk Episode 2: Hibiscus & Butterfly bisa kamu dapatkan di PC, PlayStation, Xbox (sudah termasuk dalam Xbox Game Pass), dan Nintendo Switch.

Terima kasih kepada Xbox dan Toge Productions yang telah membantu mewujudkan wawancara Coffee Talk Episode 2 ini.

Untuk lebih banyak informasi seputar esports dan video game, jangan lupa untuk follow akun Instagram GGWP.ID di @ggwp_esports!

Share
Editor’s Picks
Topics
Editorial Team
Mecca Medina
EditorMecca Medina
Follow Us